Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sabtu, 16 April 2011

(Menikah) Bagian dari Perjuangan Dakwah

Oleh: Sitaresmi Soekanto

Sebelum menikah (April 1994) saya pernah menulis artikel di majalah Fakultas Sastra UI bahwa tidak ada pacaran dalam Islam. Saat tulisan itu terbit, beberapa teman memprotes saya karena artikel itu. Mereka bilang tulisan itu tidak realistis, tidak membumi. “Memangnya menunggu jodoh dari langit. Pacaran itu kan ikhtiar,” kata mereka. “Ikhtiar itu enggak harus menempuh jalan yang tidak diridhoi Allah. Pacaran, pada dasarnya kan jadi tempat melakukan kemaksiatan, investasi dosa dan seterusnya,” jawab saya waktu itu.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dilamar oleh suami saya, Taufik Bakhtiar. Waktu itu, ia adalah seorang aktivis dakwah di Fakultas Sastra UI. Cara suami saya melamarpun cukup unik. Yaitu melalui surat lamaran yang isinya surat Al-Baqarah. Saya kaget karena sebelumnya tidak ada sinyal apa-apa. Saya merasa bahwa surat itu adalah isyarat. Saya sempat melakukan introspeksi apakah selama ini saya salah. Namun, setelah ditegaskan olehnya bahwa sebenarnya dia mempunyai kecenderungan dan do’a ingin segera menikah untuk meluruskan motivasi yaitu ikhlas karena dakwah, hati saya pun lega.

Awalnya, perasaan saya sendiri terhadap dia biasa-biasa saja, bahkan, sampai saatnya menikah. Saya hanya simpati pada akhlaknya karena dia terkenal sangat waro’. Di tengah kehidupan mahasiswa sastra yang terkenal borjuis, dia tetap tampil sederhana. Saya tidak berani menolak lamarannya karena takut kepada Allah. Saya teringat hadits yang mengatakan bahwa bila ada pemuda yang datang melamar dan kamu kenal baik akhlaknya, maka mendatangkan fitnah jika kamu tolak.

Bulan Pebruari 1998, saya menikah. Alhamdulillah, terjawablah semua pertanyaan teman-teman saya. Mereka tahu bahwa saya dan calon suami saya, Taufik Bakhtiar, mesti satu fakultas, tidak pacaran. Kami memang sama-sama aktif di kampus, kadang kerja sama dalam peringatan hari besar Islam, sama-sama merintis dakwah di sastra, dan lain-lain. Namun selama kegiatan-kegiatan itu saya justru tidak pernah akrab dengannya.

Saat menikah, usia kami 21 tahun. Pernikahan kami berlangsung sederhana, - dengan mahar Mushaf Al-Qur’an – karena begitulah keinginan kami. Kami tidak ingin ada unsur kemubaziran, bermegah-megahan, ikhtilath, dan segala macam. Pokoknya kami ngin mendapatkan keberkahan dan ridho dari Allah. Semangat kami memang masih “ekstrim” , tapi “ekstrim” yang kurang pengetahuan. Sampai-sampai dokumentasi pun tidak ada sama sekali. Sekarang, kami menyesal juga karena tidak ada dokumentasi.

Kesan yang dirasakan para tamu yang dating dalam pernikahan kami adalah sederhana, religius dan khusyu’. Saat menjadi pengantin saya mengenakan baju abaya putih yang dijahit ibu teman saya, dengan harga benar-benar murah. Tanpa olesan make up sama sekali. Ada sebagian teman yang ngebecandain, katanya saya seperti malaikat lewat. Karena semua yang saya kenakan saat itu, dari jibab sampai kaus kaki, putih semua.

Satu hal yang unik, waktu itu saya ingin yang ceramah pada pernikahan saya adalah ustadz “A”. Namun, ternyata beliau sedang ke luar kota. Saya pun menunggu, karena saya mau beliau yang khotbah. Sampai detik terakhir saya masih istikharah, “Ya Allah kalau detik-detik terakhir ini dia tidak baik untuk saya, maka jauhkanlah”. Saya sempat berpikir, apakah ini pertanda bahwa pernikahan kami akan gagal karena ustadz tak kunjung datang. Ternyata ustadz datang dan memberi khotbah nikah. Selesai khotbah teman-teman kami teriak Allahu Akbar, Allahu Akbar. Nuansa jihadnya sangat terasa.

Sesuatu yang selalu kami syukuri ialah, dengan menikah kami bisa meningkatkan daya juang. Bahwa pernikahan itu adalah bagian dari perjuangan dan penegakan dakwah, serta kalimatullah di muka bumi. Sejak awal kami sudah mengawali pernikahan ini dengan nafas religius dan kedekatan kepada Allah.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates