Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Minggu, 20 November 2011

Syariat Islam dan Tantangan Zaman


Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.

Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam salah satu acara debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)… barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam… dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Diantara sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Leonard Binder mengungkap pandangan semacam itu (1988:4) “the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed language.”
Jadi, kata mereka, yang penting dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah esensinya; bukan makna literalnya. Yang penting tujuannya, bukan bentuk hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al-Qur’an). Kelompok ini kata al-Qaradawi selalu menggunakan konsep Maqasid Syariah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nash al-Qur’an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum esensialis ini akhirnya menolak hukum hudud, qishas, jilbab, hukum waris, poligami dan sebagainya.
Argumen esensialis
Menurut hemat saya kerangka berpikir kaum esensialis ini dibangun atas dua fondasi. Pertama, pandangan mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respon langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang opresif, politik yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan humanisasi yang sebenarnya tujuan utamannya dalah menciptakan keadilan (al-adalah) dan persamaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah).
Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”
Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Saat menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya, pemikir liberal Abdullah an-Na’im (1990:59) mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.”
Kedua, — masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab, hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas, katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad ‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).
Nash dan Tujuan Syariat
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) menuliskan: “The application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” Ditempat lain dia juga menyatakan: “According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10) Di halaman lain dia kembali menegaskan: ‘All the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qath’yi al-tsubut wa al-dilalah (72)
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti (1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina. Dan ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin

Hadits Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah (1)


Beberapa hari lagi kita memasuki tahun baru 1433 H. Menjelang pergantian tahun hijriyah atau tahun baru Islam dari 1432 H menuju 1433 H ini, BersamaDakwah berusaha mengetengahkan Hadits Dhaif dan Maudhu’ seputar Tahun baru Hijriyah.

Dengan adanya pembahasan Hadits Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah ini, diharapkan umat bisa terhindarkan dari amal dan keyakinan yang tidak berdasar. Pada kesempatan pertama ini akan dikemukakan satu hadits sebagai berikut :
Matan Hadits 1
من صام اخر يوم من ذي الحجة و اول يوم من المحرم فقد ختم السنة الماضية بصوم وافتتح السنة المستقبلة بصوم جعل الله له كفارة خمسين سنة
Barangsiapa berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan awal Muharram, maka ia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa. Allah menjadikan baginya kaffarah lima puluh tahun.
Derajat Hadits
Hadits di atas adalah maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi (Abdurrahman bin Abil Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Qurasyi) mengetengahkan hadits ini dalam Al-Maudhu’at dengan sanad sampai kepada Ibnu Abbas. Namun, di dalam sanadnya ada dua perawi pendusta dan pemalsu hadits.
“Al-Harawi dan Wahb, keduanya adalah pendusta dan pemalsu hadits,” kata Ibnul Jauzi. As-Suyuthi dan Asy-Syaukani melakukan penilaian yang sama.
Penjelasan dan Pelajaran
Sebagian orang menjadikan hadits maudhu’ di atas sebagai dasar untuk berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram. Mereka menganggap bahwa dengan itu tercapailan keutamaan besar seperti disebutkan dalam hadits maudhu’ tersebut.
Kadang logika juga ikut mencari-cari alasan untuk membenarkan puasa pergantian tahun tersebut. “Bukankah mengakhiri tahun dengan kebaikan dan mengawali tahun baru dengan kebaikan adalah baik?,” mungkin begitu kita beralasan. Namun, ibadah dalam Islam bukanlah produk akal, dan tidak bisa ditetapkan dengan akal-akalan.
Rasulullah SAW telah memperingatkan bahwa amal ibadah (seperti puasa ini) jika tidak didasari perintah Rasulullah (tidak ada dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun hadits), maka ia tertolak.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak (HR. Al Bukhari)
Demikian, hadits pertama dari Hadist Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah. Semoga kita dimudahkan Allah untuk menetapi sunnah dan dikaruniai istiqamah. []

Sumber : http://www.bersamadakwah.com/2011/11/hadits-dhaif-dan-maudhu-seputar-tahun.html

Rabu, 16 November 2011

Sayap PKS Siapkan 10 Ribu Relawan untuk Antisipasi Bencana



Selain dikenal sebagai kawasan cincin api (ring of fire), Indonesia yang terdiri dari kepulauan ini juga dikenal sebagai kawasan rawan bencana. Bencana di negeri ini seakan tidak pernah berhenti. Gempa akibat pergerakkan lempeng bumi, banjir, longsor hingga tsunami kerap memporakporandakan daratan Indonesia.
Sikap waspada bencana pun menjadi keniscayaan bagi bangsa ini. Sayangnya, pemerintah acapkali lamban mengantisipasi ataupun melakukan mitigasi bencana alam. Pemerintah kalah sigap dengan berbagai lembaga relawan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
“Menghadapi kemungkinan banjir di berbagai daerah pada musim hujan saat ini, jajaran Relindo (Relawan Indonesia) sudah siap terjun mengatasinya. Di seluruh Indonesia tidak kurang dari 10 ribu relawan yang siap digerakkan sewaktu-waktu untuk mitigasi,” kata Koordinator Pusat Relindo, Cahya Jailani, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 16/11).
Cahya mengatakan, sejak dideklarasikan 9 April 2011 lalu, seluruh anggota Relindo se-Nusantara telah siap siaga melakukan advokasi, mitigasi bencana, dan mempersiapkan bantuan logistik. Relindo telah terbentuk juga di setiap provinsi. Untuk memperkokoh aktifitasnya, Relindo juga telah bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Basarnas.
“Relawan Indonesia adalah wajah baru dari Pos Penanggulangan Bencana Partai Keadilan Sejahtera yang selama ini berpartisipasi aktif dalam penanganan bencana di tanah air,” demikian Cahya. [ysa]

Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/11/16/45927/Sayap-PKS-Siapkan-10-Ribu-Relawan-untuk-Antisipasi-Bencana-

Senin, 14 November 2011

AWAS TSUNAMI: Kenali Tanda dan Cara Menyelamatkan Diri


Sumber: planetrisk.fr

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates