Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Minggu, 20 November 2011

Syariat Islam dan Tantangan Zaman


Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.

Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam salah satu acara debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)… barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam… dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Diantara sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Leonard Binder mengungkap pandangan semacam itu (1988:4) “the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed language.”
Jadi, kata mereka, yang penting dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah esensinya; bukan makna literalnya. Yang penting tujuannya, bukan bentuk hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al-Qur’an). Kelompok ini kata al-Qaradawi selalu menggunakan konsep Maqasid Syariah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nash al-Qur’an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum esensialis ini akhirnya menolak hukum hudud, qishas, jilbab, hukum waris, poligami dan sebagainya.
Argumen esensialis
Menurut hemat saya kerangka berpikir kaum esensialis ini dibangun atas dua fondasi. Pertama, pandangan mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respon langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang opresif, politik yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan humanisasi yang sebenarnya tujuan utamannya dalah menciptakan keadilan (al-adalah) dan persamaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah).
Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”
Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Saat menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya, pemikir liberal Abdullah an-Na’im (1990:59) mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.”
Kedua, — masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab, hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas, katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad ‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).
Nash dan Tujuan Syariat
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) menuliskan: “The application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” Ditempat lain dia juga menyatakan: “According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10) Di halaman lain dia kembali menegaskan: ‘All the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qath’yi al-tsubut wa al-dilalah (72)
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti (1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina. Dan ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin

Hadits Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah (1)


Beberapa hari lagi kita memasuki tahun baru 1433 H. Menjelang pergantian tahun hijriyah atau tahun baru Islam dari 1432 H menuju 1433 H ini, BersamaDakwah berusaha mengetengahkan Hadits Dhaif dan Maudhu’ seputar Tahun baru Hijriyah.

Dengan adanya pembahasan Hadits Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah ini, diharapkan umat bisa terhindarkan dari amal dan keyakinan yang tidak berdasar. Pada kesempatan pertama ini akan dikemukakan satu hadits sebagai berikut :
Matan Hadits 1
من صام اخر يوم من ذي الحجة و اول يوم من المحرم فقد ختم السنة الماضية بصوم وافتتح السنة المستقبلة بصوم جعل الله له كفارة خمسين سنة
Barangsiapa berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan awal Muharram, maka ia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa. Allah menjadikan baginya kaffarah lima puluh tahun.
Derajat Hadits
Hadits di atas adalah maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi (Abdurrahman bin Abil Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Qurasyi) mengetengahkan hadits ini dalam Al-Maudhu’at dengan sanad sampai kepada Ibnu Abbas. Namun, di dalam sanadnya ada dua perawi pendusta dan pemalsu hadits.
“Al-Harawi dan Wahb, keduanya adalah pendusta dan pemalsu hadits,” kata Ibnul Jauzi. As-Suyuthi dan Asy-Syaukani melakukan penilaian yang sama.
Penjelasan dan Pelajaran
Sebagian orang menjadikan hadits maudhu’ di atas sebagai dasar untuk berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram. Mereka menganggap bahwa dengan itu tercapailan keutamaan besar seperti disebutkan dalam hadits maudhu’ tersebut.
Kadang logika juga ikut mencari-cari alasan untuk membenarkan puasa pergantian tahun tersebut. “Bukankah mengakhiri tahun dengan kebaikan dan mengawali tahun baru dengan kebaikan adalah baik?,” mungkin begitu kita beralasan. Namun, ibadah dalam Islam bukanlah produk akal, dan tidak bisa ditetapkan dengan akal-akalan.
Rasulullah SAW telah memperingatkan bahwa amal ibadah (seperti puasa ini) jika tidak didasari perintah Rasulullah (tidak ada dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun hadits), maka ia tertolak.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak (HR. Al Bukhari)
Demikian, hadits pertama dari Hadist Dhaif dan Maudhu’ Seputar Tahun Baru Hijriyah. Semoga kita dimudahkan Allah untuk menetapi sunnah dan dikaruniai istiqamah. []

Sumber : http://www.bersamadakwah.com/2011/11/hadits-dhaif-dan-maudhu-seputar-tahun.html

Rabu, 16 November 2011

Sayap PKS Siapkan 10 Ribu Relawan untuk Antisipasi Bencana



Selain dikenal sebagai kawasan cincin api (ring of fire), Indonesia yang terdiri dari kepulauan ini juga dikenal sebagai kawasan rawan bencana. Bencana di negeri ini seakan tidak pernah berhenti. Gempa akibat pergerakkan lempeng bumi, banjir, longsor hingga tsunami kerap memporakporandakan daratan Indonesia.
Sikap waspada bencana pun menjadi keniscayaan bagi bangsa ini. Sayangnya, pemerintah acapkali lamban mengantisipasi ataupun melakukan mitigasi bencana alam. Pemerintah kalah sigap dengan berbagai lembaga relawan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
“Menghadapi kemungkinan banjir di berbagai daerah pada musim hujan saat ini, jajaran Relindo (Relawan Indonesia) sudah siap terjun mengatasinya. Di seluruh Indonesia tidak kurang dari 10 ribu relawan yang siap digerakkan sewaktu-waktu untuk mitigasi,” kata Koordinator Pusat Relindo, Cahya Jailani, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 16/11).
Cahya mengatakan, sejak dideklarasikan 9 April 2011 lalu, seluruh anggota Relindo se-Nusantara telah siap siaga melakukan advokasi, mitigasi bencana, dan mempersiapkan bantuan logistik. Relindo telah terbentuk juga di setiap provinsi. Untuk memperkokoh aktifitasnya, Relindo juga telah bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Basarnas.
“Relawan Indonesia adalah wajah baru dari Pos Penanggulangan Bencana Partai Keadilan Sejahtera yang selama ini berpartisipasi aktif dalam penanganan bencana di tanah air,” demikian Cahya. [ysa]

Sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/11/16/45927/Sayap-PKS-Siapkan-10-Ribu-Relawan-untuk-Antisipasi-Bencana-

Senin, 14 November 2011

AWAS TSUNAMI: Kenali Tanda dan Cara Menyelamatkan Diri


Sumber: planetrisk.fr

Rabu, 26 Oktober 2011

Ringkasan Konferensi Internasional tentang “Harmonisasi Peradaban Islam dan Barat menuju Era Baru”

Oleh: Tim dakwatuna.com


0
email
(Dok PIP PKS Belanda)
dakwatuna.com – Berikut ini merupakan ringkasan dan cuplikan dari presentasi yang disampaikan sepanjang acara Konferensi Internasional tentang “Harmonisasi Peradaban Islam dan Barat menuju Era Baru”, 20 Oktober 2011, dari pukul 09.00 s.d 16.30
Konferensi ini diselenggarakan di Hotel Holiday Inn, Leiden, Belanda, pada pukul 09.00 waktu setempat. Pertemuan dimulai dengan pidato pembuka yang disampaikan oleh Ketua Pusat Informasi dan Pelayanan (Selanjutnya disebut PIP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Belanda, Deden S. Permana. Mewakili PIP PKS di Belanda, Inggris, dan Jerman. Deden di dalam pidato pembukanya menekankan bahwa Konferensi ini membawa pesan perdamaian dan dialog, dan juga niat baik dari PKS untuk berkontribusi dalam proses transformasi peradaban dunia menuju keadaan yang lebih baik dan era baru yang penuh dengan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Kemudian sambutan pembuka juga disampaikan oleh Mustafa Kamal, ketua fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat yang berbicara mengatasnamakan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq.
Di dalam sambutannya, Mustafa Kamal menyebutkan bahwa tidak ada satupun negara yang bebas dari masalah, baik itu dalam hal ekonomi, sosial-politik, budaya ataupun masalah kerekatan sosial. Termasuk juga Indonesia. Oleh karena itu, setiap negara, bahkan setiap peradaban memerlukan pembelajaran dari praktek-praktek terbaik yang dijalankan oleh negara atau peradaban lainnya. Kebutuhan untuk saling memahami dan bekerja sama pada tingkat internasional menjadi tidak terelakkan. Konferensi ini juga merupakan bagian dari rangkaian aktivitas serupa yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Pusat PKS melalui Badan Hubungan Luar Negeri (BHLN) dan secara teknis dieksekusi oleh PIP di sejumlah negara. Pada Januari 2011 acara serupa diselenggarakan di London, dan pada rencana yang akan datang diharapkan bisa  juga diselenggarakan di negeri lainnya.
Diskusi panel pertama kemudian diselenggarakan setelah sesi pembukaan, perhatian dipusatkan pada tema “Barat dan Islam: Refleksi Nilai-nilai Unggul dari masing-masing Peradaban”. Terdapat empat pembicara pada sesi ini, mereka yaitu: Dr. Hidayat Nur Wahid (Anggota DPR, Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat), Anis Matta (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat) dan George Galloway (Koalisi anti-perang di Inggris, Mantan Anggota Parlemen Inggris) dan Syeikh Ahmed Amir Ali (Presiden dari Akademi Studi Islam Eropa, di Inggris).
Dua issu dibahas oleh Anis Matta:
  1. Krisis, ekonomi dan politik yang melanda dunia Barat dan dunia Islam.
  2. Solusi yang memungkinkan untuk mengatasi masalah yang ada
Anis Matta menyebutkan bahwa peristiwa 11 September telah memperburuk proses komunikasi Barat dengan Islam, dan oleh karenanya perlu diingatkan kepada semua muslim akan pentingnya interaksi melalui dialog dan komunikasi dua arah yang baik.
“Arab Spring” (Musim Semi bagi demokrasi di dunia Arab) telah terjadi, sehingga perlu dicari model baru dari peradaban, negara, pemerintahan dll. Namun, dunia Islam tampak kehilangan narasi peradabannya setelah kejatuhan para diktator di Tunisia, di Mesir dll. Oleh karenanya, penting bagi mereka untuk segera menyusun narasi baru peradabannya dengan pemimpinnya yang baru.
Anis menyatakan bahwa dunia Islam harus memulai narasinya bukan dari titik di mana Barat memulainnya melainkan seharusnya dari titik ketika barat mengakhirinya. Sehingga dia seharusnya merupakan sebuah kelanjutan dan bukanlah sebuah awal yang sama sekali baru.
Ketika ada seorang bertanya tentang bagaimana caranya untuk merealisasikan gagasannya, Anis Matta menjawab dengan menyentuh tiga hal:
  1. Masalah Komunikasi, misalnya: Sentimen segelintir elit di Eropa tidak menggambarkan pandangan masyarakatnya demikian juga sebaliknya di dunia Islam.
  2. Bagaimana kita bisa menaruh isu ekonomi di dalam perspektif kemanusiaan, hal ini merupakan issu bersama.
  3. Bagaimana kita bisa meninjau ulang kurikulum pendidikan kita, sehingga mampu untuk menjauhkan rasa takut, benci sedini mungkin.
Sementara itu, George Galloway mengapresiasi PKS untuk kemampuannya berfikir di luar kebiasaan, dan kepeduliannya dalam permasalahan-permasalahan dunia.
Dia setuju dengan pembicara sebelumnya (Anis Matta) bahwa tidak semua pandangan elite mewakili masyarakatnya. Bush (George W Bush) dan Blair (Tony Blair) ketika mengirimkan pasukan untuk menyerang Iraq. Masyarakat Inggris, dan sekitar dua juta orang di tahun 2003, keluar untuk menentang kebijakan perang.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, dia tidak pernah bertemu seorang muslim pun yang berperilaku anti bara seperti anti pohon natal. Galloway melihat bahwa yang Muslim inginkan adalah 1) Tidak mendikte Barat 2) Tidak didikte Barat. Galloway pun mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi jika Harmonisasi ingin dicapai.
  1. Kemerdekaan absolut untuk Palestina
  2. Menghentikan perang berkepanjangan di negeri-negeri Muslim
  3. Menghentikan penciptaan dan dukungan pemimpin dan pemerintahan boneka di negeri­ negeri Muslim. Jika hal-hal tersebut masih terjadi maka tidak akan ada hubungan yang normal antar peradaban.
Akhirnya demokrasi harus berlaku untuk seluruh manusia dan seluruh belahan bumi, tidak boleh ada standard ganda ataupun hipokrasi yang digunakan di dalam kebijakan dari pemerintahan manapun.
Dalam paparannya, Dr. Nur Wahid menyimpulkan bahwa seharusnya tidak ada sekat bagi Muslim untuk belajar dari non-Muslim dan begitu pun sebaliknya. Baik Islam maupun Barat harus memainkan perannya dalam membawa kesejahteraan kepada seluruh dunia secara aktif, dan bertanggung jawab. Keduanya perlu untuk menemukan pendekatan yang efektif dan metode yang tepat untuk mencapai tujuan bersama.
Pada kesempatannya berbicara, Syeikh Ali mempertimbangkan bahwa merindukan nilai­-nilai fundamental dari Islam dan juga sebaliknya. Dia mengakui bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam proses komunikasi kedua peradaban, dan kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh kesalahan orang per orang pada kedua belah pihak.
Sesi panel yang kedua, konferensi dimulai setelah istirahat makan siang, di bawah sub-tema “Mempercepat hadirnya Era Baru: Upaya menekan Korban dari Kontraksi dan Kontradiksi antar Nilai Budaya”. Empat pembicara berbagi gagasannya dalam sesi ini, mereka adalah Laureen Booth (Seorang Jurnalis dan Pembawa Acara dari Inggris), Dr. Ibrahim El-Zayat (Ketua dari Sejumlah Organisasi Muslim dan Masjid di Jerman), Arif Havas Oegroseno (Duta Besar Republik Indonesia untuk Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa) dan Mustafa Kamal (Ketua fraksi PKS di DPR RI).
Laureen Booth, yang memeluk Islam pada tanggal 19 Oktober 2010 memulai presentasinya dengan berbagi pengalaman dalam pencarian panjang akan kebenaran, dimulai dari interaksinya dengan Muslim dan berubah-ubahnya persepsi yang dia miliki tentang Islam. Booth menceritakan kisahnya yang cukup inspiratif hidup sebagai seorang perempuan Muslim di Barat, bagaimana dia tetap mempertahankan keimanannya dan bagaimana juga mayoritas Muslim berintegrasi dengan baik dengan sistem sosial di Barat. Dia kemudian menyebutkan urgensi bagi Muslim untuk menunjukkan kasih sayang dan memelihara kepercayaan diri sebagai Muslim dengan cara berdialog dengan masyarakat dimana mereka tinggal.
Pada kesempatan kedua Dr. El-Zayat mengeksplorasi apa yang terjadi baru-baru ini di dunia Arab yang memiliki kekuatan untuk membantah sikap prejudice terhadap Arab dan Muslim bahwa mereka adalah diktator, penuh kekerasan, menekan perempuan, dan terasosiasikan dengan aktivitas ekstrim. El-Zayat menyentuh kegagalan dari sistem ekonomi kapitalis yang membuat semua orang mencari sistem ekonomi alternatif. El-zayat juga memandang bahwa nilai-nilai dari institusi keluarga yang merupakan nilai mendasar dari ajaran Islam merupakan kunci pembentukan masyarakat yang sehat, yang mampu diperkenalkan secara menarik, aktual dan berkelanjutan hingga tercapai era baru.
Dubes Oegroseno menyajikan narasinya yang berjudul: “The New Era – Now – Beyond”. Dimulai dengan bertanya kepada audiens pertanyaan sebagai berikut ini: Apakah Eropa berada pada “jalur yang benar”, dan apakah Eropa sedang menurun? Kemudian Oegroseno menyajikan sebuah prediksi bahwa Asia pada tahun 2050 memiliki kemungkinan untuk mengendalikan 51% dari aktivitas ekonomi dunia, sementara itu Amerika hanya 25% dan Eropa harus puas dengan 10% saja. Mesin pertumbuhan di Asia, termasuk Cina, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand. Kunci menuju dialog dalam era baru adalah: Evaluasi diri, menghindari Stereotype, Integrasi Sosial dan Fasilitasi Ekonomi.
Mustafa Kamal, menyarankan agar kedua peradaban mengubah caranya dalam menulis sejarah. Lanjutnya, narasi sejarah kita pada umumnya ditulis dengan pendekatan konflik, dimana konflik diambil sebagai pusat dari penulisan sejarah. Sementara itu pendekatan baru dalam penulisan ulang sejarah yang berbasiskan harmoni harus mulai diperkenalkan dan diajarkan kepada generasi muda, sehingga ide harmonisasi antar peradaban ini tidak hanya dinikmati di ruangan konferensi ini akan tetapi juga kita bisa meyakinkan bahwa semangatnya tertular kepada generasi kita berikutnya.
Keseluruhan sesi panel ini dimoderasi oleh Novrizal Bahar, dan dihidupkan dalam suasana diskusi.
Sebagai penutup rangkaian acara pada konferensi ini, pidato penutup disampaikan oleh Dr. Hidayat Nur Wahid. Hidayat menekankan bahwa diskusi penting seperti ini harus dilanjutkan, gagasan-gagasan dan pemikiran penting yang disajikan sepanjang konferensi harus disebarluaskan atas keyakinan bahwa terlalu banyak yang bisa dibagi bersama-sama oleh kedua peradaban, dan atas keyakinan akan pesan dari ajaran Islam “Wata’awanu ‘alal birri wa taqwa, wa laa ta’awanu ‘alal itsmi wal udwaan”, yakni, bahwa setiap kita butuh berkoordinasi dan bekerja sama dalam hal-hal yang positif. Ini adalah tradisi, ajaran, moralitas dan nilai dasar dari ajaran Islam.
Konferensi ditutup pada pukul 16.30 waktu setempat.
Leiden, 20 Oktober 2011
Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri DPP PKS
Budiyanto
Siaran Pers dalam Bahasa Indonesia ini merupakan terjemahan dari Siaran Pers yang dibuat dalam Bahasa Inggris.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/10/15877/ringkasan-konferensi-internasional-tentang-harmonisasi-peradaban-islam-dan-barat-menuju-era-baru/#ixzz1brLrK4w4

Sabtu, 22 Oktober 2011

Comic of the day....

Mungkin kita banyak mengenal orang, tetangga, teman, saudara, kerabat, kenalan di bis, bahkan selebritis. Tetapi, ada sebuah pertanyaan besar yang sering kita lewatkan dan tak terlalu sering kita sadari, yaitu kenalkah kita dengan diri sendiri? 


Jumat, 21 Oktober 2011

10.000=2 nasi bungkus + 2 teh + 6tahu isi dan mendoan

Pagi ini sy jalan2 ke pasar pagi di Purworejo, tempat kelahiran Pahlawan Nasional Ahmad Yani dan Sarwo Edhie Wibowo sekaligus tempat kelahiran Untung sang tokoh PKI. Pasar yg betul2 pagi karena mulai buka jam 3 pagi. Saat para pedagang mulai mengais rejeki. Jalan2 dalam rangka pengecekan atas saudara yg mau mengajukan pinjaman utk usaha dagangnya. sekedar memastikan apakah 2 kios dagangnya benar2 berjalan normal. Sy aduk2 seluk beluk pasar dg segala keramahan semua penghuninya. Di tengah pasar yg jauh dari hiruk-pikuk resufel kabinet itu, cermin multi etnis ada disana. Saat ide nyate kambing muncul begitu saja, maka sy putuskan beli daging kambing. Penjualnya sy ajak ngomong dg bahasa jawa. "Piro iki kang", tanya saya. "Iku lima puluh ribu", jawabnya. Lalu "kok larang men tho", kata saya lagi. "Nggak ini sudah murah, beli semua saja Pak", katanya. Saat itu sy sadar orang ini pasti nggak bisa basa jawa. Maka saya tanya "dari mana. Mas?", " sy dari Sulawesi Pak". Saya timpali lagi "lha kok disini, nggak jualan sama Yusuf Kalla saja". Sy baru tahu bahwa disampingnya istrinya ternyata orang jawa. Saya teruskan jalan-jalannya, dan beli kue kelapa, lagi2 pedagangnya gak bisa basa jawa, ternyata dia dari Tasikmalaya. Lalu lagi seorang kuli panggul barang, dg terbata2 melayani pertanyaan bhs jawa saya. Itulah cermin Indonesia yg begitu harmonis dalam keragaman etnis, budaya dan agama. Saya temui itu semua nun jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Saat perut mulai keroncongan, sy ajak adik yg ngantar saya utk sarapan, karena matahari mulai menyembul. Makan 2 bungkus nasi, dg lauk mi goreng dan gudeg jogya. Agar mak nyuss, plus tahu isi dan teh manis. Setelah puas menikmati itu semua, sy sempatkan bawa pulang 6 tempe mendoan. Lalu sy minta si mbok pemilik kedai menghitung berapa ongkosnya. Lalu dia jawab ,sepuluh ribu Mas. Setengah tidak percaya, sy bilang lagi, coba hitung lagi mbok. Iya Mas semua sepuluh ribu. Lalu sy ulurkan dua lembar uang 5 ribuan. Sambil jalan pulang, Ya Allah, para penghuni pasar ini mereka saling bantu satu sama lain. Si mbok pemilik kedai, membantu para pedagang pasar pagi, tukang parkir dan kuli panggul dg menyediakan makan dg harga terjangkau. Gak perlu untung banyak, yg penting bisa menyambung hidup. Dibenak saya berkecamuk pikiran, lha tempe mendoan itu kalu dijakarta dijual 2000 an, disini cuma 500 perak. Jakarta lebih mahal 4x dalam hal harga tempe mendoan. Sy bayangkan cara berfikir si mbok tadi dan para pialang saham di IDX atau wall street sana. Benarlah kata Gandi "Dunia seisinya cukup utk menghidupi seluruh penduduk bumi, tapi tidak cukup menghidupi satu saja orang serakah dan tamak". Berbahagialah yg dapat mensyukuri yg ada, tanpa kehilangan semangat untuk maju dalam kewajaran.

Catatan singkat mengisi libur pendek (copas dari milis sbelah)
Published with Blogger-droid v1.7.4

Kamis, 20 Oktober 2011

Harga diri

Harga Diri - Irwan Prayitno
Published with Blogger-droid v1.7.4

Panduan qurban dan pembahasannya

Panduan Qurban dan Pembahasannya
Published with Blogger-droid v1.7.4

Rabu, 19 Oktober 2011

Islamic Quiz (penuh hikmah)

Ini kuiz mengandung hikmah yg baik sekali. Mohon ikuti dg fun saja dg mengisi titik2 yg ada pd kalimat di bwh ini. Anda cukup menyimpan jawaban Anda di dlm memori fikiran saja.
Kuiz:
1. Allah ciptakan tertawa dan...
2. Allah itu mematikan dan ....
3. Allah ciptakan lelaki dan ....
4. Allah memberikan kekayaan dan ....
Jawaban atas quiz itu pd umumnya adalah:
1. Menangis,
2. Menghidupkan,
3. Perempuan,
4. Kemiskinan.
Mari kita cocokkan jawaban tsb dgn rangkaian ayat dlm QS Al-Najm [53]: 43-48:
43. ... Dialah yg menjadikan org tertawa dan MENANGIS;
44. ... Dialah yg mematikan dan meng-HIDUP-kan;
45. ... Dialah yg menciptakan ... laki2 dan PEREMPUAN;
48. ... Dialah yg memberi kekayaan dan KECUKUPAN.
Ternyata jawaban kita utk no 1-3, umumnya cocok dg Al-Quran. Tapi, jawaban kita utk no 4 umumnya tidak cocok. Jawaban versi Quran bukan KEMISKINAN, tapi... KECUKUPAN. Sesungguhnya Allah SwT hanya memberi kekayaan & kecukupan. Yg menciptakan kemiskinan adalah kita sendiri, manusia. Bisa karena ketidakadilan ekonomi; bisa juga karena rasa miskin itu kita bangun di dlm pikiran kita sendiri.
Published with Blogger-droid v1.7.4

Minggu, 16 Oktober 2011

Cinta Bersemi Di Pelaminan


By Anis Matta
Lupakan! Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami Nasr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Disini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu! Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.
Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.

Jumat, 14 Oktober 2011

Nikmati Jalan Dakwah Ini | namaku cahyadi takariawan

Nikmati Jalan Dakwah Ini 
by: Pak Cah

Terlalu sering saya sampaikan, agar kita tidak gagal dalam menikmati jalan dakwah. Dalam berbagai forum dan tulisan, saya selalu mengajak dan mengingatkan, agar kita selalu menjadikan jalan dakwah ini sebagai sesuatu yang kita nikmati. Segala renik yang ada di sepanjang jalannya: suka dan duka, tawa ria dan air mata, kemenangan dan kepedihan, tantangan dan kekuatan, sudahlah, semua itu adalah bagian yang harus bisa kita reguk kenikmatannya.
Di antara doa yang sering saya munajatkan adalah, “Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan ini.” Tentu saja bersama doa-doa permohonan lainnya. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang mengurai kembali ikatan yang telah direkatkan, mengungkit segala yang telah diberikan, dengan perasaan menyesal dan meratapi segala yang pernah terjadi di jalan ini.
Saya merasa bukan siapa-siapa, dan hanya seseorang yang mendapatkan banyak kemuliaan di jalan ini. Mendapatkan banyak saudara, mendapatkan banyak ilmu, memiliki banyak pengalaman, mengkristalkan banyak hikmah, menguatkan berbagai potensi diri, menajamkan mata hati dan mata jiwa. Luar biasa, sebuah jalan yang membawa berkah melimpah. Maka, merugilah mereka yang telah berada di jalan ini tetapi tidak mampu menikmati.
Maka mari kita nikmati jalan dakwah ini, “sebagai apapun” atau “tidak sebagai apapun” kita. Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa “iya” bisa “tidak”. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut.
Kamu siapa ?
“Saya pengurus partai dakwah”. Ini bisa disebut.
“Saya pejabat publik yang diusung oleh partai dakwah”. Ini juga bisa disebut.
“Saya pemimpin organisasi dakwah”. Ini sangat mudah disebut.
“Saya kepala daerah yang dicalonkan dari partai dakwah”. Ini cepat disebut.
Tapi, kamu siapa ?
“Saya orang yang selalu berdakwah. Pagi, siang, sore dan malam. Kelelahan adalah kenikmatan. Perjuangan adalah kemuliaan. Saya bahkan tidak tahu, apa nama diri saya. Karena saya lebih suka memberikan hal terbaik bagi dakwah, daripada mencari definisi saya sebagai apa di jalan ini”.
Ya. Nikmati saja jalan ini. Sebagai apapun, atau tidak sebagai apapun diri kita di jalan dakwah. Jangan gagal menikmati.
Selesai Rapat di Markaz Dakwah, Simatupang.

Rabu, 08 Juni 2011

Ri'ayah Dakwah

Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.
Untuk menjamin nishabul baqa(angka atau quota yang aman bagi eksistensi gerakan dakwah), qudratu ‘ala tahammul (kemampuan memikul beban / tanggung jawab), danhayawiyatul harakah (dinamika gerakan); perlu dilakukan ri’ayah da’wah, yang meliputi:
Ri’ayah Tarbawiyah
Ini sangat penting sebagai basis dari sebuah program.  Sebuah recovery tarbiyyah. Walaupun kita juga harustawazzun (seimbang), dalam arti, sering saya ingatkan bahwa kita iniharakah Islamiyah bukan harakah tarbawiyyah. Walaupun kita faham bahwa tarbiyah itu bukan segala sesuatu dalam jamaah ini—karena ia hanya juz’iyyatul ‘alal amal islami, tapi dia sangat menentukan segala sesuatu. Makanya jangan lalai dalam tarbiyah ini.  Saya pun bertanggung jawab jangan sampai terjadi tawaruth siyasi (larut dalam dunia politik).
Hasil tarbiyah ini jangan dibatasi manfaatnya menjadi tarbiyah untuk tarbiyah. Artinya moralitas, idealisme, dan semangat yang dihasilkan tarbiyah itu jangan hanya dirasakan ketika ia menjadi murabbi saja. Tapi harus dirasakan juga produk tarbiyah itu baik secara moralitas, idealisme, akhlak, hayawiyah, semangat ke dalam dunia politik. Aktif dalam sektor bisnis, eksekutif, budaya, sosial, dan peradaban; perasaan bahwa mereka juga harus merasakan tarbiyah. Jangan sampai produk-produk tarbawi hanya semangat ketika mentarbiyah saja. Ketika di dunia politik dia lesu, di dunia ekonomi memble, di dunia sosial kemasyarakatan ketinggalan, dalam seni budaya jauh di urutan ke berapa.
Tarbiyah harus bisa memacu, memberikan semangat, memberikan moralitas tinggi, idealisme tinggi dalam segala bidang. Itu sebetulnya sudah kita rasakan, dan semakin kita butuhkan ketika kita semakin besar. Jangan sampai potensi apa pun yang ada tidak mendapat sentuhan tarbawi tersebut. Jangan terjadi apa yang dinamakan al-izaaban (pelarutan). Jangan sampai ketika aktif di bidang politik terjadi izaabatu syakhsiyyatul islamiyyah (pelarutan kepribadian islami), atau aktif di bidang ekonomi terjadi izaabatul akhlaqul islamiyyah. Pelarutan-pelarutan itu insya Allah tidak akan terjadi atau bisa diminimalisir jika tarbiyah kita konsisten.
Ri’ayah Ijtima’iyah
Kemampuan kita melakukan komunikasi sosial, baik dalam jama’ah sendiri atau juga di masyarakat, tahsinul ‘alaqotul ijtima’iyyah (perbaikan hubungan kemasyarakatan) ini sangat dibutuhkan dalam peran kita sebagai da’i.
Ri’ayah Tanzhimiyah
Jaringan struktur kita sebagai jalur komando harus solid. Agar cepat dan tepat, bisa menyalurkan program-program dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ri’ayah Iqtishadiyah
Ekonomi ini menjadi perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (sesaat setelah hijrah-red) setelah membangun masjid. Masjid untuk membangun anfus (jiwa) dan pasar untuk membangun potensi amwal (harta), keduanya untuk wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum.
Ekonomi kita masih berbasiskan ekonomi jaringan, belum berbasiskan ekonomi pasar. Yang dagang ikhwan dan akhwat, yang belanja juga ikhwan dan akhwat. Memang ekonomi jaringan itu nikmat, tapi sulit untuk menjadi besar, artinya ketemu pedagang sambil kangen-kangenan, tawar menawarnya juga enak. Dalam ekonomi kalau mau menjadi besar itu harus berbasiskan pasar.
Dalam ri’ayah iqtishadiyah, pelihara terus ekonomi jaringan, tetapi kembangkan menuju ekonomi pasar. Ekonomi jaringan itu menjadi basis ekonomi pasar. Jangan keasyikan berputar-putar di ekonomi jaringan, gak bisa besar. Sebab pasar kita terbatas. Coba hitung berapa persen kader kita yang menjadi pedagang, kemudian berapa komunitas kita yang jadi pasarnya. Apalagi kalau dibagi dengan jumlah pedagang yang berdagang darihalaqoh ke halaqoh, sehingga pembagian jumlah konsumen itu kecil.
Kita berada di negara yang pasarnya dipenuhi oleh negara-negara besar; Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang berebut pasar Indonesia. Kenapa kita sebagai pemilik pasar tidak mendayagunakannya sebesar-besar manfaat dari pasar Indonesia ini. Pasar Indonesia ini pasar yang jika dilihat dari luas geografisnya—bahkan secara demografisnya lebih luas lagi—sama dengan London – Moskow.
Ri’ayah Siyasiyah
Komunikasi politik kita harus lebih baik antar partai-partai. Jangan ada hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kita dengan mereka terputus. Terutama karena kita partai dakwah. Jangan ada komunikasi yang putus dengan siapa pun. PDIP mad’u (objek dakwah) kita, Golkar mad’u kita, bahkan PDS juga mad’u kita. Sebisa mungkin ada jalur komunikasi. Jika tidak ada komunikasi keumatan atau keislaman, maka bangun jalur kemanusiaan. Saya kira tidak ada partai yang anggotanya bukan manusia. Banteng simbolnya, tapi anggotanya tetap manusia.
Minimal hubungan kemanusiaan harus terbentuk dengan kelompok manapun. Ingat, seperti dulu saya tegaskan bahwa mihwar muassasi itu merupakan muqaddimahmenuju mihwar dauli. Kalau kita sudah mencapai mihwar dauli, rakyat yang kita kelola itu dari beragam parpol, kelompok, dan agama; semuanya rakyat yang harus kita kelola. Harus kita layani. Jangan dibayangkan kalau sebuah partai dakwah berkuasa di sebuah negara, akan membumihanguskan golongan-golongan lain. Tidak! Karenakhilafah fil ardhi, termasuk embrionya, mihwar daulah, itu juga mengemban misirahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil mu’minin saja. Semua komponen bangsa harus menikmati kehadiran kita dalam sebuah daulah, minimal secara manusia. Terjamin hak-hak kemanusiaannya, termasuk hak-hak politiknya tidak akan diberangus. Kita akan memberikan space kepada siapa pun komponen bangsa ini—sudah tentu yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara yang disepakati—agar mempunyai ruang hidup, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan relijius.
Itu latihannya dari sekarang. Membangun komunikasi politik, budaya, bisnis, dan sosial dengan semua golongan, semua lapisan masyarakat, semua kelompok, semua komponen bangsa dari sekarang. Sehingga kita diakui, laik memimpin negara ini. Allahu Akbar! Insya Allah tidak lama lagi.

Selasa, 07 Juni 2011

Menyiapkan Jiwa

Posted by Pak Cah
Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan.
Esensi doa ini adalah untuk menyiapkan jiwa menyambut Ramadhan. Berharap memasuki bulan Rajab dan Sya’ban dengan penuh berkah. Berharap dua bulan lagi bisa memasuki Ramadhan dengan kondisi kesehatan, kekuatan, dan kebaikan yang prima.
Jiwa manusia sering berada dalam kehampaan dan ketidaksiapan. Sibuk dengan berbagai urusan dunia, sibuk dengan kerja, sibuk dengan politik, sibuk dengan bisnis, sibuk dengan mengejar target pekerjaan, sibuk berkarier, sibuk memikirkan kenaikan pangkat, sibuk mengusahakan kebaikan posisi dan gaji.
Namun tidak sibuk mengingat Allah, tidak sibuk berdzikir, tidak sibuk taubat, tidak sibuk wirid, tidak sibuk shalawat, tidak sibuk tilawah, tidak sibuk qiyamul lail, tidak sibuk ibadah sunah, tidak sibuk istighfar, tidak sibuk bertasbih, tidak sibuk bertahmid, tidak sibuk bertakbir.
Betapa lalai dan lemah jiwa kita…. Tiba-tiba Ramadhan sudah tiba. Tak ada kesiapan jiwa memasukinya.
Tidak semua manusia bisa bertemu Ramadhan dengan sepenuh kehadiran jiwa. Kendati tinggal dua bulan lagi. Sekarang kita memasuki bulan Rajab, bulan berikutnya adalah Sya’ban. Setelah itu datanglah bulan teramat istimewa, Ramadhan.
Di antara manusia ada yang telah dipanggil menghadap Allah sebelum sempat menikmati Ramadhan berikutnya. Bahkan ada yang meninggal sehari sebelum masuk bulan Ramadhan. Kita tidak tahu apakah akan bisa menjumpai Ramadhan tahun ini. Untuk itulah kita berdoa, memohon agar bisa menjumpai Ramadhan lagi dengan sepenuh cinta.
Namun untuk apa kita perlu bertemu Ramadhan ? Untuk mendapatkan berbagai keistimewaannya. Agar bisa menemukan segala rahasia keindahan Ramadhan yang Ia berikan kepada kita. Sepenuh jiwa kita berharap limpahan rahmat, berkah, ampunan, kehidupan yang taqwa, akhir hidup yang mulia, akhirat yang bahagia.
Dua bulan menjelang Ramadhan, berharap bisa kita lalui sepenuh keberkahan dariNya. Jika dua bulan ini mampu kita isi dengan aktivitas yang penuh berkah, insyaallah kita akan bisa sampai Ramadhan dengan kesiapan jiwa untuk menikmatinya. Bisa berenang pada samudera kerahmatan Ramadhan yang teramat luas tanpa batas.
Berkahi kami di Rajab ini ya Allah…
Berkahi kami pada Sya’ban esok ya Allah…
Hingga kami sampai ke Ramadhan dengan sepenuh ketulusan dan kesiapan jiwa….
Aamiin…

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates