Dalam Al-Qur’an wa tafsiruhu disebutkan bahwa munculnya generasi seperti ini setidaknya karena tiga faktor utama yaitu: Pertama, materi Al-Qur’an yang membawa nilai-nilai yang luhur. Kedua, sosok Nabi Muhammad yang paripurna sebagai pembawa amanat ilahi. Ketiga, panduan dari Allah yang selalu menyertai Nabi Muhammad dalam berdakwah. Tiga hal pokok inilah yang menjadikan agama Islam berkembang dengan sangat pesat di seluruh pelosok negeri dalam waktu yang relatif sangat singkat dalam sejarah dakwah para nabi.
Selain ketiga faktor di atas, ada hal lain yang mendukung kemunculan generasi khaira ummah tersebutyakni kesiapan jiwa para sahabat radhiyallahu anhum untuk selalu berinteraksi dengan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Inilah kunci kebangkitan mereka. Ini pula kunci kebangkitan kita pada saat ini. Saat ini yang harus kita lakukan adalah mengembalikan maknawiyah ummat—termasuk kita di dalamnya—agar mau berinteraksi dengan Al-Qur’an sebagaimana generasi sahabat.
Ada tiga karakteristik generasi sahabat dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Pertama, menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama (al-Qur’an manba-un wahiid).
Generasi sahabat mempersepsikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan landasan kehidupan. Adapun hadits adalah tafsir operasional dari sumber utama itu. Mereka mengenal peradaban Romawi, Yunani, Persia, India, dan China yang tercatat sebagai kebudayaan yang maju waktu itu. Bahkan peradaban Romawi dan Persia mendominasi Jazirah Arab dari utara dan selatan. Tetapi yang menjadi sumber dan acuan generasi sahabat hanyalah Al-Qur’an. Sehingga akal, wawasan, ideologi, dan orientasi mereka terbebas dari pengaruh luar yang tidak sesuai dengan manhaj Al-Qur’an.
Sementara generasi berikutnya telah mengalami pembauran sistem dan telah terkontaminasi berbagai polutan dalam memahami sumber utama. Seperti filsafat dan logika Yunani yang banyak mencemari pemikiran pemikir Islam, israiliyat Yahudi dan teologi Nasrani, serta berbagai kebudayaan dan peradaban asing, yang turut mencampuri penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengurangi kadar kejernihan pemikiran generasi berikutnya dalam memahami Al-Qur’an.
Kedua, menerima Al-Qur’an untuk diamalkan (manhaj at-talaqqi).
Para sahabat menerima perintah dari Allah persis seperti seorang prajurit menerima perintah dari komandannya. Al-Qur’an diterima untuk diterapkan secara langsung dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Bukan ditujukan untuk menyingkap rahasia alam, sains, atau pengayaan materi-materi ilmiah. Karena Al-Qur’an bukan buku seni, sains, atau sejarah, sekalipun semuanya terkandung di dalamnya. Sesungguhnya ia diturunkan sebagai pedoman hidup (minhajul hayah).
Ketiga, Isolasi  (mufashalah) dari persepsi lama.
Selain menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama—yakni dengan membebaskan akal, wawasan, ideologi, dan orientasi dari pengaruh luar—para sahabat pun membersihkan jiwanya dari noda dan kotoran masa lalu di masa jahiliyyah dengan petunjuk Al-Qur’an. Mereka memulai hidup baru yang sama sekali berbeda dengan masa lalunya. Interaksinya dengan Al-Qur’an telah merubah total lingkungan, kebiasaan, adat, wawasan, ideologi, serta pergaulannya.
Ketiga karakteristik inilah yang tidak dimiliki oleh generasi berikutnya, sehingga tidak bertahannya nilai-nilai ke-Islam-an yang utuh dalam persepsi dan mata hati mereka. Dr Muhammad Al Ghazali berkata, “Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena menempatkan Alquran di atas segala-galanya. Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak dirinya”.
Fenomena Hari Ini
DR. Yusuf Qaradawi dalam salah satu ceramahnya mengungkapkan bahwa saat ini kondisi ummat Islam tidak tepat dalam bersikap terhadap Al-Qur’an. Mereka menjadikan Al Qur’an terlupakan, mereka menghapal huruf-hurufnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur’an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur’an serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur’an. Di antara mereka ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur’an, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al Qur’an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:
“Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al An’aam, 6: 155).
Saat ini ummat Islam baru menunaikan kewajibannya terhadap Al-Qur’an sebatas penjagaan dan pemeliharaan saja. Ummat Islam juga menaruh perhatian yang sangat besar dalam mengajarkan Al-Qur’an agar dibaca dan dihafalkan oleh anak-anak mereka. Apa yang mereka lakukan itu memang sudah merupakan pekerjaan besar. Namun belumlah cukup jika hanya berhenti sampai pada titik itu saja.
Membaca dan mendengar Al-Qur’an dengan Tadabbur
Merenungi (tadabbur) Al-Qur’an merupakan keharusan baik ketika membaca atau saat mendengarkannya. Itulah yang dulu diperbuat oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka senantiasa membaca (tilawah) Al-Qur’an, merenungkan dan mengamalkannya. Mereka tidak beranjak dari satu ayat ke ayat lainnya, dari satu surat ke surat yang lainnya, kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya.
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ. (أحمد)
Riwayat dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy (seorang tabi’in), ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, mereka tidak mengambil sepuluh ayat yang lainnya sehingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata, ‘Maka kami mengerti ilmu dan amal.’” (Hadits Riwayat Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi Syaibah nomor 29929)
Oleh karena itu, para ulama pada masa lalu dijuluki dengan julukan Al-Qurra’ (orang yang banyak membaca Al-Qur’an). Arti membaca (qira’ah, tilawah) bukanlah sekedar membaca tanpa memahami maksud dan maknanya, sebagaimana banyak terjadi pada masa-masa sekarang ini. Akan tetapi Al-Qari’ (pembaca) adalah identik dengan Al-‘Alim(orang yang mengetahui). Dan Al-Qurra’ berarti para ulama dan para pakar hukum Islam.
Begitupula mendengarkan Al-Qur’an bukanlah sekedar mendengar atau hanya menikmati keindahan lagu dan suara merdu pembacanya. Akan tetapi mendengar disini harus disertai dengan merenungkan arti dan maksudnya.
Bagaimanakah kondisi manusia pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saat mendengar Al-Qur’an?
Allah SWT berfirman,
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).” (QS. Al-Maidah, 5: 83).
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu‘.” (QS. Al-Isra’, 17: 107 – 109).
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta. (QS. Al-Furqan, 25: 73)
“…dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal, 8: 2).
Begitulah mereka saat mendengar bacaan Al-Qur’an; mencucurkan air mata, menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, menangis dan bertambah khusyu, mendengar dengan penuh kesungguhan, sehingga bertambahlah iman mereka.
Bagaimanakah dengan kita?
Harus kita akui, cukup banyak di antara kita orang-orang yang apabila dibacakan Al-Qur’an, hatta yang mengandung ancaman-ancaman yang dahsyat, malah bersikap acuh-tak acuh; tidak terpengaruh, seolah-olah tidak mendengar sesuatu yang luar biasa.
Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa kondisi ummat Islam yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an tersebut, sangat difahami dengan baik oleh musuh-musuh Islam. Sehingga mereka tidak risau untuk menyiarkan bacaan Al-Qur’an di berbagai pemancar radio mereka.
Radio zionis Israel tidak segan-segan menyiarkan bacaan Al-Qur’an, demikian juga Radio London, dan Suara Amerika. Seolah-olah mereka yakin bahwa Al-Qur’an tidak akan berpengaruh sedikit pun kepada kita.
Padahal pada masa lalu, ketika Al-Qur’an dibacakan kepada orang-orang Arab, ia mampu menggoncangkan dan merubah peradaban secara total. Orang-orang musyrik sangat takut terhadap Al-Qur’an walaupun hanya dibaca. Mereka menghalangi anak-anak dan wanita-wanita mereka agar tidak mendengar Al-Qur’an.
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka’.(QS. Fushilat, 41: 26).
Berinteraksilah dengan Al-Qur’an, Islam pasti jaya!
“Selama kaum Muslimin masih memegang Al-Qur’an di tangan mereka, maka Eropa tidak akan mampu mencengkramkan kekuasaannya di negeri-negeri Timur!”
Kalimat ini diungkapkan pada abad 18 oleh William Gladstone, PM Inggris zaman Ratu Victoria. Dari kata-katanya yang penuh kedengkian ini kita dapat memahami bahwa kekuatan kaum Muslimin sesungguhnya terletak pada sejauh mana komitmennya terhadap Al-Qur’an. Inilah kekuatan dahsyat yang menjadi kunci kebangkitan dan kejayaan mereka. Inilah kunci menuju kemenangan dan kemuliaan mereka. Sejarah telah berbicara sebagai fakta abadi; bahwa ummat ini dapat memperoleh izzahnya dengan Al-Qur’an. Dan merekapun Allah kerdilkan karena meninggalkan Al-Qur’an.
Renungkanlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اِنَّ اللّهَ يَرْفَعُ بِهَاذَاالكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ آخَرِيْنَ (مسلم)
“Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (Al-Qur’an) meninggikan derajat kaum-kaum dan menjatuhkan derajat kaum yang lain.” (HR. Muslim).
Maksud hadits ini menurut DR. Muhammad Faiz Almath, “Barangsiapa yang berpedoman dan mengamalkan isi Al-Qur’an, maka Allah akan meninggikan derajatnya, tapi barangsiapa yang tidak beriman kepada Al-Qur’an, maka Allah akan menghinakannya dan merendahkan derajatnya.”
Oleh karena itu mereka yang rindu pada kebangkitan ummat Islam, harus segera membuka katup jiwanya dan memenuhinya dengan kesejukan Al-Qur’an. Biarlah ia mengalir mengisi relung-relung jiwa, menyegarkan iman, membersihkan pikiran, dan membuahkan amal. Mereka harus mengiringi langkah-langkahnya dengan kekuatankalamullah, sebagaimana generasi pertama mereka memulai langkah-langkahnya dengan kekuatan itu.
Ingatlah kata-kata bijak Imam Malik, “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali  ia dijayakan genarasi awalnya.”
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan dan ketertinggalan mereka selain dari kembali kepada Al Qur’an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur’an sebagai petunjuk:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?.” (QS. An Nisaa, 4: 122)
Maraji’:
Al-Qur’an wa tafsiruhu, Kementerian Agama RI
Berinteraksi dengan Al Qur’an, Dr. Yusuf al Qaradhawi
Gambaran Terjaganya Kemurnian Islam, Hartono Ahmad Jaiz
1100 Hadits Terpilih, DR. Muhammad Faiz Almath
Sumber: intimagazine.wordpress.com