Jika ada orang yang perlu solusi, beliaulah tempat bertanya. Jika ada orang
yang berselisih, beliaulah yang diharap mampu mendamaikan. Jika ada orang
yang kebingungan, niscaya beliaulah yang akan menunjukkan jalan. Para
sahabat utama dan perwakilan kabilah-kabilah yang tinggal dan mengikat janji
di Madinah telah berkumpul, dan seperti biasanya mereka menanti-nanti
keputusan Rasulullah saw. Namun Rasulullah saw tidak mengumpulkan mereka
untuk sekedar memberi instruksi. Mereka diundang untuk bermusyawarah.
Rasulullah saw mengemukakan pendapatnya. Hati beliau cenderung pada
keputusan untuk bertahan di dalam kota untuk menghadapi para penyerang yang
akan datang. Keputusan ini tadinya diterima secara bulat, termasuk juga oleh
Abdullah bin Ubay, pemimpin Bani Khazraj yang terkenal dalam sejarah
kemunafikan. Akan tetapi para pemuda memiliki gagasan lain. Mereka meminta
agar Rasulullah saw memimpin mereka untuk keluar menghadang musuh, agar umat
Muslim dipandang sebagai kaum yang gagah, bukan pengecut yang bersembunyi di
balik dinding kota. Memang gagah mereka ini, sepadan dengan kegagahan
kata-katanya. Sebagian besar peserta musyawarah pun berhasil mereka
yakinkan, dan Rasulullah saw pun taat pada hasil musyawarah.
Dalam Khutbah Jum’at-nya hari itu, Rasulullah saw mengingatkan umat Muslim
agar bersabar menghadapi musuh agar Allah mengaruniakan kemenangan. Besarlah
hati umat Muslim karena petuah itu. Setelah Shalat Ashar, Rasulullah saw
masuk ke dalam rumahnya bersama Abu Bakar ra dan ‘Umar bin Khattab ra.
Keduanya membantu beliau memasang sorban dan baju besi. Tidak ada secuil pun
niatan untuk mundur dari keputusan yang sudah bulat dibuat bersama. Namun di
luar, para sahabat justru mulai merasa ragu. Mereka menyesal mengingat-ingat
peristiwa musyawarah tadi, khawatir telah bersikap lancang memaksa Nabi saw.
Maka meluncurlah pernyataan dari lelaki yang lebih tegar daripada tebing
karang itu:
“Tidak layak bagi seorang Nabi jika telah mengenakan baju besinya lagi
kemudian melepasnya kembali sebelum ia pergi berperang!” (HR Ahmad)
Sebuah riwayat mengatakan bahwa kekuatan perang umat Muslim saat itu
sejumlah seribu orang, seratus di antaranya mengenakan baju besi dan lima
puluh orang menunggang kuda. Kondisinya sudah jauh lebih baik daripada
Perang Badar dahulu, di mana kekuatan umat Muslim hanya sejumlah tiga
ratusan orang. Namun pasukan Quraisy juga jauh lebih banyak, hingga
perbekalannya pun diangkut oleh tiga ribu ekor unta dan dikawal oleh dua
ratus orang pasukan berkuda. Di pihak Muslim, semangat berkobar dan moral
menjulang tinggi, sehingga Rasulullah saw pun terpaksa menyuruh pulang
anak-anak yang masih terlalu muda untuk berperang, karena sebelumnya mereka
memang ngotot ingin ikut. Di antara mereka yang dipulangkan adalah ‘Abdullah
bin ‘Umar ra, ‘Usamah bin Zaid ra, Zaid bin Tsabit ra dan yang lainnya.
Di tengah perjalanan menuju Uhud, kelompok orang-orang munafik mencampakkan
barisan begitu saja. Kira-kira sepertiga kekuatan meninggalkan barisan,
dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay. Meski demikian, perjalanan diteruskan,
mengabaikan pengkhianatan kaum munafik dan provokasi kaum musyrik.
Sesampainya di Uhud, Rasulullah saw mulai mengatur strategi. Sepasukan
pemanah terbaik ditempatkan di atas sebuah bukit sebagai tempat yang
strategis untuk menghujani balatentara musuh dengan anak-anak panah.
Instruksi Rasulullah saw sangat sederhana: (1) pertahankan posisi di atas
bukit, (2) lindungi pasukan Muslim dengan anak panah, (3) jika pasukan
Muslim diganyang, lihat dua instruksi sebelumnya, dan (4) jika pasukan
Muslim berjaya, lihat dua instruksi yang pertama.
Selebihnya, sebagian besar di antara kita sudah mengetahui jalan ceritanya.
Peperangan berlangsung sengit. Strategi Rasulullah saw yang menempatkan para
pemanah di atas bukit terbukti ampuh. Meski demikian, kedukaan tak ayal
meliputi kaum Muslimin karena kehilangan seorang prajurit yang gagah
bagaikan singa, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib ra. Tentara kaum Musyrikin
lari kocar-kacir bersama kaum perempuan yang mereka ajak serta sebagai
penyemangat. Mereka tak pedulikan lagi harta benda yang tercecer, asalkan
nyawa terselamatkan. Maka tentara Muslim pun mulai memunguti harta rampasan
perang yang ada di depan matanya.
Gelisahlah hati pasukan pemanah yang mendapat instruksi tegas untuk tidak
meninggalkan posnya. Matanya terpikat oleh godaan harta benda. Sebenarnya
mereka tidak punya niat untuk melangkahi perintah Rasulullah saw, hanya saja
mereka sudah terlanjur yakin bahwa musuh sudah lari dan takkan kembali.
Kalau sudah demikian, apa salahnya ikut mengambil harta rampasan?
Pasukan berkuda Quraisy yang dipimpin oleh Khalid bin Walid ra (yang ketika
itu belum memeluk Islam) melihat kesempatan emas itu. Sejak awal pertempuran
mereka dibuat pusing tujuh keliling menghadapi hujan anak panah dari atas
bukit. Kini puncak bukit hanya dipertahankan oleh sepuluh orang. Secepat
kilat, pasukan berkuda itu berbalik arah dan mengganyang habis pasukan
pemanah yang tersisa di atas bukit, kemudian menyerang pasukan Muslim dari
belakang. Keadaan pun berbalik seratus delapan puluh derajat.
Allah memberikan pertolongan kepada umat Muslim. Rasulullah saw dan para
sahabat yang tersisa terus bertempur dengan gagah, meski korban telah
berjatuhan, termasuk sahabat pertama yang diberi amanah untuk mengajarkan
Islam di Madinah, yaitu Mush’ab bin ‘Umair ra. Rasulullah saw sendiri tidak
luput dari cedera serius. Tujuh puluh orang dari pasukan Rasulullah saw
menjadi syuhada, sebagian besarnya dari golongan Anshar. Duka menyelimuti
Madinah, menangisi kepergian para syuhada dan menyesali kekhilafan pasukan
pemanah yang cuma sebentar, namun menelan banyak korban.
Pada saat itu, mungkin pikiran kaum Muslim sedang mengembara; menyendiri ke
tempat pengasingannya masing-masing. Andaikan saja mereka sejak semula
mengikuti pendapat Rasulullah saw, mungkin tidak begini jadinya. Padahal
Rasulullah saw telah melihat tanda-tanda dari sebuah mimpinya. Andaikan saja
mereka tidak mendesak-desak Rasulullah saw untuk memenuhi keinginan mereka
sendiri. Andaikan saja pasukan pemanah tidak beranjak dari tempatnya
sebagaimana perintah Rasulullah saw, entah berapa nyawa bisa terselamatkan.
Andaikan saja mereka percaya sepenuhnya pada instruksi Rasulullah saw dan
tidak gelisah hatinya melihat saudara-saudaranya yang lain mengambil harta
rampasan, tentu pasukan berkuda musuh takkan merajalela tanpa penghalang,
dan pertempuran akan sepenuhnya menjadi milik mereka.
Akan tetapi, generasi awal kaum Muslimin ini adalah orang yang terlatih
untuk bekerja, bukan berandai-andai. Sesampainya di Madinah, ibunda Sa’ad
bin Mu’adz ra berlari-lari ke hadapan Rasulullah saw, sedangkan Sa’ad bin
Mu’adz ra sendiri tengah menuntun kuda beliau. Sa’ad ra memberitahu
Rasulullah saw bahwa yang ada di hadapan beliau adalah ibunya. Maka
Rasulullah saw pun turun dari kudanya dan mendatangi beliau dengan sikap
baik, sebaik sikap seorang hamba sahaya yang menemui majikannya. Beliau
sendiri yang mengabarkan kematian anaknya, ‘Amr bin Mu’adz ra. Sudah barang
tentu ia bersedih, namun ibu yang perkasa ini pun berkata, “Namun bila
Rasulullah saw selamat, maka semuanya baik-baik saja!”
Mimpi Rasulullah saw adalah taqdir Allah, demikian pula hasil keputusan
musyarah adalah taqdir Allah. Kedigjayaan pasukan pemanah di atas bukit
adalah taqdir Allah, demikian pula terdesaknya pasukan Muslim akibat
kelalaian mereka pun adalah taqdir Allah. Tidak ada sesuatu pun yang luput
dari rencana Allah, dan apa yang telah diputuskan-Nya pastilah akan terjadi.
Tinggallah manusia yang harus memetik hikmah dan memberi respon yang tepat
dalam segala kondisi.
Perang Uhud memberi pelajaran kepada seluruh kaum Muslimin hingga akhir
jaman bahwa mereka tidak akan memperoleh kemenangan hanya karena Rasulullah
saw ada di tengah-tengah mereka. Jikalau memang Rasulullah saw itu seorang
lelaki yang sakti mandraguna tanpa batas kekuatan, tentu tak perlu beliau
berdakwah sembunyi-sembunyi di rumah Arqam, mencari perlindungan hingga ke
Thaif dan menyuruh hijrah ke Ethiopia dan Madinah. Jika Allah menghendaki
hamba-Nya yang paling mulia itu menang, pastilah ia menang. Namun ini bukan
soal kemenangan Rasulullah saw saja, melainkan soal pewarisan sebuah sistem.
Niscaya umat Islam takkan menang jika tidak memenuhi syarat-syarat
kemenangan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bahkan generasi sahabat pun
tidak mendapat ‘keringanan’ dari sunnatullaah ini. Jika mereka menyimpang,
pastilah ada konsekuensi yang harus dibayar. Dalam Perang Uhud, penyimpangan
itu dibayar dengan harga yang sangat mahal. Akan tetapi pewarisan sistem itu
sendiri juga merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya.
Apakah barisan dakwah harus bubar karena penyimpangan terlanjur terjadi di
Perang Uhud? Apakah pantas berputus asa karena sebagian orang tergoda oleh
harta rampasan dan meninggalkan perintah Rasulullah saw? Apakah mereka yang
terlanjur bersalah harus diusir dari barisan, dipersalahkan atas kematian
saudara-saudaranya dan dicela seumur hidup? Haruskah nila setitik merusak
susu sebelanga? Atau lebih tepatnya lagi, mungkinkah nila yang cuma setitik
mampu merusak susu yang sebelanga?
Musyawarah adalah bagian dari sistem. Mentaati aturan adalah bagian dari
sistem. Meluruskan yang menyimpang adalah bagian dari sistem. Menyikapi
kekalahan adalah bagian dari sistem. Memberi ruang untuk memperbaiki diri
adalah bagian dari sistem. Perang Uhud telah mengajari kita untuk menyadari
pentingnya mempertahankan sebuah sistem yang kuat; sebuah sistem yang harus
lebih kuat dari siapa pun, dan mampu untuk merespon kondisi yang bagaimana
pun.
Kita masih perlu banyak-banyak belajar.
wassalaamu’alaikum wr. wb.