Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sabtu, 16 April 2011

WAQFAH RUHANIYAH ADALAH SEBUAH OASE


          Perjalanan dakwah yang panjang, berat, mendaki dan berliku terkadang membuat kita seolah kehabisan nafas, merasa begitu lelah dan dahaga. Bahkan tak jarang hati kita serasa tercabik-cabik. Niat baik kita sering disalah-artikan. Keinginan kita untuk senantiasa berada di jalurNya yang benar justru mendapat tentangan yang luar biasa. Bicara salah..., tak bicarapun salah..., tetap saja digunjingkan. Hanya untaian kalimahNya yang suci yang dapat menenangkan hati:Wa laa tahinuu wa la tahzanuu wa antumul a’launa in kuntum mu’miniin, janganlah kamu lemah dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman (Qs. Ali Imran: 139). Atau di surat Al Maidah ayat 54, “ Walaa yakhoofuuna lau mata laaim”, dan tidak takut celaan orang yang suka mencela.
          Cobaan hidup yang berat yang mendera wanita mulia Maryam ibunda Isa pernah sampai membuatnya berujar: “Lau kaana mittu qabla hadza”, seandainya saja aku telah wafat sebelum peristiwa ini. Demikian pula ummul mu’minin Aisyah ra juga sempat mengucapkan kalimat yang sama ketika ujian berat menghadangnya.  Namun Subhanallah, keimanan mereka yang mendalam ditambah pertolongan Allah membuat mereka tetap tegar dan survive.
          Namun memang sebagai manusia biasa yang lemah sebelum kita kehabisan nafas dan mati kehausan atau sebelum langkah kita menjadi tersaruk-saruk, kita harus melakukan waqfah ruhaniyah. Kita perlu jeda ruhiyah. Berhenti sejenak di terminal atau perhentian ruhiyah.  Kita membutuhkan oase tuk melepas penat dan dahaga sejenak untuk kemudian dapat melangkah lagi dengan langkah yang lebih tegap dan pasti serta tak lagi gontai.
          Sahabat Nabi Muhammad SAW, Muadz bin Jabal ra termasuk sahabat yang paling giat mengingatkan sahabat dan mengajak mereka untuk melakukan perhentian ruhiyah dan perenungan keimanan. Ia terkenal dengan ajakannya: “Ijlis bina’ nu’minuu sa’atan”, duduklah bersama kami (tuk melakukan perenungan), berimanlah sejenak”. Waqfah ruhaniyah ini dapat dilakukan dengan melalui liqa’at-liqa’at. Sayangnya majlis-majlis kita terlalu banyak diisi dengan bahasa lisan dan bukannya bahasa hati. Padahal yang dibutuhkan adalah perenungan hati. Kadang lisan kita terlalu lancar berbicara dan tak memberi kesempatan pada hati kita tuk bicara.
          Tatkala kita sedang dzikir ma’tsurat, atau tilawah qur’an pada hakikatnya kita sedang melakukan waqfah ruhaniyah. Karena pada saat berdzikir dan tilawah kita hanya mengizinkan lisan kita tuk mengeluarkan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir serta kalamullah saja. Tak ada kesempatan untuk membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah atau yang bukan urusan kita: “Alladziina hum ‘anil laghwi mu’ridhuun”, ciri orang beriman ialah mereka yang menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia (Qs. 23: 3). Atau hadits nabi SAW: “Min husni islamil mar’i tarku ma laa ya’nihi”, di antara kesempurnaan keislaman seseorang adalah bila ia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna bagi dirinya. Begitu pula ketika kita sedang shaum kita begitu menjaga lisan kita dan tubuh kita terlalu lemas untuk melakukan atau berbicara yang tidak-tidak.
            Bila ada rizki dan kesempatan kita bisa mendatangi oase yang luar biasa secara jama’iyan dengan saudara-saudara kita dari seluruh penjuru dunia. Ibadah umrah atau haji memberi kesempatan pada kita untuk mereguk oase itu bersama-sama. Oase yang paling orisinal, jernih dan menyejukkan. Oase yang akan membasuh luka-luka di hati kita dan mempersegar keimanan kita
          Di saat gerakan dakwah kita mencanangkan aneka waqfah tarbawiyah termasuk waqfah ruhaniyah, Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang memberangkatkan saya untuk melakukan waqfah ruhaniyah di tanahNya yang suci, tuk mereguk oaseNya. Dan Subhanallah bi’ah shalihah yang kita dapatkan membuat kita tak akan memperdulikan keterbatasan-keterbatan fisik kita. Kita melupakan betis kita yang menjadi kaku seperti kayu atau mata kita yang menuntut tidur. Ada seorang ibu dari daerah  Najran yang bahkan sudah menyewa penginapan selama tiga bulan mulai dari Rajab, Sya’ban hingga Ramadhan agar senantiasa berada di dekat Masjidil Haram.
          Dari bayi merah yang didukung melakukan thawaf bersama sang ayah atau anak lelaki kecil berumur 2 tahun yang sudah mengenakan pakaian ihram, gadis-gadis belia yang cantik jelita hingga nenek-nenek perkasa di usia 85 tahun yang tetap fit melakukan thawaf di siang bolong, kesemuanya menunjukkan kesungguh-sungguhannya tuk mereguk oase itu.
          Semua enggan beranjak jauh dari baitullah Ka’bah yang begitu mulia, agung dan berwibawa. Saya bersimpuh di depan Ka’bah seraya berucap: “ Ya Allah dosaku begitu banyak dan amalku begitu sedikit , masih banyak orang yang jauh lebih baik amalnya dan lebih sedikit dosanya dariku, namun kau menghadirkan aku di rumahMu ini”.  Sementara menunggu waktu shalat hampir tak ada yang mengobrol apalagi menggosip, semua memegang tasbih dan membaca Qur’an, bahkan juga pemuda-pemuda gagah yang trendi.
          Muka-muka penuh tangis merapat ke multazam dan menggapaikan tangan bergelantungan mencoba meraih pintu Ka’bah. Semua menangis memohon ampunanNya. Diri ini serasa kerdil di hadapanNya.
          Tak sekedar itu mereka juga shaum di tengah terik suhu 50 derajat celcius dan saling membagi kurma ruthob tuk berbuka ditambah air zam-zam dingin yang menyejukkan.
          Berada di dekat oase itu memberikan pula inspirasi bagi saya untuk kembali tegar sebagaimana wanita-wanita mulia yang namanya pasti disebutkan dalam mata rantai menapak tilasi jejak langkah perjuangan nabiyullah Ibrahim As dan Rasulullah Muhammmad SAW. Siti Hajar yang tetap optimis dalam pencariannya yang penuh ketidak pastian antara bukit Shafa dan Marwa dalam kesendiriannya di tanah hijaz yang gersang. Begitu pula Siti Khadijah ra yang wafat seusai pemboikotan yang sangat berat.      Sumayyah, sang syahidah pertama. Asma binti Abu Bakar sang dzaati nithoqooin (pemilik 2 ikat pinggang) yang berperan dalam peristiwa hijrah Nabi. Dan Nusaibah binti Ka’ab yang mengucap janji setia dalam Bai’ah Aqabah 2 dan melindungi Rasulullah di perang Uhud.
          Ternyata mereguk air di oase bukan sekedar untuk menyejukkan hati belaka lalu terlena, melainkan tuk kembali tegar dan berjuang setegar pahlawan-pahlawan wanita tersebut, insya Allah.
sumber: sitaresmi's blog

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates