Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sabtu, 16 April 2011

Indonesia dan Kita (10)

Posted by pak cah on April 15, 2011

Kadang masyarakat memerlukan paksaan untuk bisa menjadi baik. Masyarakat yang tertib, teratur, rapi dan jujur, tidak mesti terbentuk karena kesadaran yang tumbuh dari relung hati nurani. Bisa pula tercipta karena adanya seperangkat sistem yang memaksa mereka untuk menjadi “baik” dalam ukuran tertentu, sesuai standar sistem tersebut. Di antara perangkat yang bisa memaksa ini adalah keterpaduan data, kelengkapan sarana dan prasarana, kecanggihan teknologi, dan adanya aturan serta hukum yang ditegakkan dengan tegas.
Contoh yang paling mudah adalah tertib lalu lintas di berbagai negara maju. Selama saya di Amerika dan Kanada, banyak rekan-rekan warga Indonesia yang bercerita tentang “surat cinta” kepolisian yang dikirim ke alamat rumah mereka. Jika seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas, misalnya mengendarai mobil melampaui kecepatan maksimal yang diperbolehkan, atau melanggar trafick light, maka radar dan kamera merekam pelanggaran tersebut. Sepekan setelah kejadian pelanggaran, akan datang surat “tilang” dari kepolisian disertai foto kejadian pelanggaran yang dimaksud.
Beberapa rekan menceritakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan di sebuah trafick light. Saat melintas di trafick light, ternyata lampu sudah berwarna merah. Dalam hitungan detik, kamera yang dipasang di tepi jalan langsung memotret kejadian tersebut secara otomatis. Sepekan kemudian datanglah surat kepolisian ke alamat rumah, disertai foto pelanggaran tersebut. Satu foto plat nomer mobil, satu foto posisi mobil terhadap lampu lalu lintas, dan satu lagi foto posisi mobil dari belakang.
Surat tersebut memberi informasi pelanggaran yang dilakukan, sekaligus besaran denda yang harus mereka bayarkan. Dilengkapi pula dengan keterangan yang diperlukan tentang cara pembayaran dan cara komplain apabila merasa keberatan atas “tuduhan” pelanggaran tersebut. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara “menangkap” pelaku pelanggaran lalu lintas, dan bagaimana cara memperkarakan mereka ? Bagaimana kepolisian mengetahui alamat si pelaku pelanggaran sehingga bisa menyampaikan surat ke alamat yang tepat ? Bagaimana memotret kejadian pelanggaran ?
Pertama kali yang kita lihat adalah adanya keterpaduan data setiap warga negara. Satu data yang mereka miliki telah memberikan semua informasi tentang dirinya. Misalnya nomer mobil, itu sudah cukup memberikan data tentang si pemilik mobil: dimana rumahnya, apa asuransi yang digunakan, bagaimana dan berapa ia membayarkan pajak, apa catatan kriminalnya, dan lain sebagainya. Maka nomer mobil menjadi sangat vital keberadaannya, karena sudah memberikan semua data dan informasi tentang pribadi pemilik  mobil. Bisa saja mobil itu dipinjam orang saat terjadinya pelanggaran, namun tetap saja yang terkena delik pelanggaran adalah orang yang memiliki mobil tersebut.
Di negeri kita tercinta Indonesia, plat mobil tidak bisa memberikan informasi yang memadai. Karena mobil diperjualbelikan bisa dalam hitungan hari, dan pergantian kepemilikan mobil tidak selalu diikuti dengan pergantian data dalam surat resmi atau BPKB mobil tersebut. Jika kita melihat sebuah mobil super mewah melintas di Jakarta, belum tentu pemilik mobil sesuai dengan data yang tertera dalam BPKB-nya. Karena bisa jadi pemilik sekarang membeli dari tangan kelima sejak mobil itu pertama kali dibeli. Pemiliknya sudah berganti lima kali, namun data dalam BPKB tetap tertera orang pertama. Apalagi jika kita melihat mobil super tua yang melintas di trans Sumatera, mungkin kepemilikannya sudah berganti hingga limapuluh kali.
Problem besar tanah air kita diantaranya adalah soal keterpaduan data. Mengurus lebih dari duaratus juta penduduk memang tidaklah mudah. Masing-masing instansi memiliki dan mencari data sendiri-sendiri. Data si Paijo di Puskesmas kampungnya, tidak berhubungan dengan data di kantor pajak dan kantor kepolisian. Puskesmas punya data sendiri, Rumah Sakit punya data sendiri, kantor polisi punya data sendiri, kantor pajak punya data sendiri, kantor PMI punya data sendiri, kantor telkom punya data sendiri dan lain sebagainya.
Itulah sebabnya, jalan raya kita setiap hari digali oleh pihak yang berbeda-beda. Hari ini digali untuk saluran telepon umum, kemudian ditutup lagi. Sebulan kemudian digali untuk pembuatan selokan dan resapan air, kemudian ditutup lagi. Sebulan kemudian digali untuk saluran TV kabel, kemudian ditutup lagi. Sebulan kemudian digali untuk jaringan listrik, kemudian ditutup lagi. Dan begitu seterusnya. Kita bekerja sendiri-sendiri, karena memiliki data dan program sendiri-sendiri.
Di Amerika, berbagai ruas jalan telah dilengkapi dengan kamera atau alat pantau radar untuk mendeteksi kondisi lalu lintas. Begitu terjadi pelanggaran terhadap batas kecepatan maksimal, akan tertangkap oleh radar yang segera membuat laporan tentang pelanggaran tersebut. Di berbagai trafick light dilengkapi dengan sejumlah kamera yang langsung bekerja apabila ada kendaraan yang melakukan pelanggaran.  Kamera tersebut serentak memotret mobil dari berbagai arah dan sisi, sehingga pihak kepolisian bisa mengolah foto hasil jepretan kamera otomatis untuk menjadi delik pelanggaran. Radar dan kamera ini membuat tidak ada negosiasi dengan pelaku pelanggaran.
Di negara kita tercinta Indonesia, belum cukup terdukung dengan teknologi radar dan kamera untuk menjadi polisi jalan raya. Bahkan seandainya di berbagai trafick light dipasangi kamera, masih dikhawatirkan justru menjadi titik kejahatan baru, dimana kamera tersebut hilang karena dicuri. Rel kereta api saja bisa hilang karena dicuri orang. Sekrup atau mur dan baut yang berada di rel kereta api juga bisa hilang, karena diambil untuk dijual kiloan di tempat penjualan besi tua. Apalagi kamera yang harganya jelas lebih mahal. Mungkin usianya di jalan raya hanya beberapa hari saja.
Infrastruktur berupa jalan raya yang bagus juga sangat menunjang kelancaran lalu lintas. Jika jumlah jalan tidak bertambah di Indonesia, sementara jumlah motor dan mobil setiap hari terus bertambah, maka pada titik tertentu bisa dibayangkan kondisi jalan kita tidak akan mampu menampung kendaraan bermotor. Lihatlah betapa setiap hari kita menyaksikan ribuan motor terjual di Indonesia, yang siap memadati jalan raya. Mobil juga terus bertambah jumlahnya, sementara jalan tidak bertambah ruas maupun lebarnya. Tidak ada penambahan ruas jalan baru, dan sangat jarang ada penambahan lebar jalan.
Transportasi umum kita juga belum menjadi alternatif yang digemari masyarakat. Di berbagai negara maju, ada bus, trem dan kereta api di atas permukaan tanah, ada monorel yang dibuatkan jalur di bagian atas, ada pula kereta api subway yang berada di bawah tanah. Di beberapa wilayah, masih ditambah dengan transportasi sungai yang juga menjadi alternatif warga. Semua alat transportasi tersebut kondisinya bagus dan relatif tepat waktu. Jika kita naik Shinkanzen dari Tokyo hingga Fukuoka, kita tidak akan takut tersesat atau salah turun di stasiun yang berbeda, karena Shinkanzen selalu tepat waktu. Bahkan waktu bisa dijadikan patokan nama stasiun yang disinggahi. Shinkanzen tak pernah ingkar janji.
Kepadatan masyarakat terpecah, ada yang di dalam bus, ada yang naik trem, ada yang naik monorel, ada yang naik subway, ada pula yang naik ferry di sungai. Itu yang menyebabkan jalanan menjadi lebih “sepi” karena masyarakat terdisitribusi ke berbagai sarana transportasi. Di Jakarta, sudah ada jalur busway yang cukup membuat nyaman masyarakat yang berada di atas bus Trans Jakarta. Namun belum semua jurusan bisa terpenuhi oleh jalur busway, dan sisi lain membuat jalan raya Jakarta semakin menyempit karena sebagiannya dihabiskan untuk jalur busway. Alat transportasi umum yang lebih memasyarakat seperti Kopaja dan Mikrolet, kondisinya belum cukup bagus. Dampaknya, banyak masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil atau motor untuk sarana transportasi. Apalagi daerah di luar Jawa, masih banyak daerah bahkan tidak terjangkau sarana transportasi umum.
Sisi lain, aturan dan hukum yang dibuat di berbagai negara maju, bersifat memaksa untuk dilakukan.  Jika seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas, dia tidak bisa berkutik karena ada bukti pelanggaran berupa foto saat kejadian. Yang mereka lakukan adalah segera membayar denda, karena jika mereka mangkir, akan menyebabkan catatan kejahatan mereka bertambah. Seseorang akan memiliki catatan pelanggaran dan kejahatan yang pernah dilakukan, baik dalam kaitan dengan pelanggaran di jalan raya, pelanggaran pajak, atau pelanggaran lainnya yang pernah dilakukan. Data kejahatan atau pelanggaran ini akan menjadi pertimbangan saat orang ini melamar kerja, atau ketika akan mengurus sebuah aktivitas yang memerlukan pengesahan dari instansi pemerintah. Oleh karena itu masyarakat berusaha semaksimal mungkin agar tidak berurusan dengan aparat penegak hukum.
Contoh kecilnya adalah tentang tiket kereta api subway. Andai saja kita tidak membeli tiket dan langsung naik kereta api, mungkin saja tidak ketahuan karena memang tidak ada petugas pemeriksa tiket. Namun kadang secara acak ada petugas yang memeriksa tiket penumpang sehingga bisa menemukan adanya pelanggaran penumpang yang tidak bertiket. Kendati pemeriksaan ini bersifat acak dan tidak selalu ada, namun masyarakat lebih memilih menghindari resiko tertangkap basah oleh petugas. Mereka memilih membeli tiket daripada berurusan dengan petugas yang menagkapnya melakukan pelanggaran. Denda yang diberlakukan atas pelanggaran bersifat pasti, dan umumnya tidak bisa negosiasi.
Kita lihat masyarakat “dipaksa” oleh sebuah sistem untuk menjadi tertib dan teratur. Mereka memilih mentaati aturan, walau dengan terpaksa, karena tidak mau berurusan dengan aparat penegak hukum. Tidak mau terkena denda. Tidak mau terkena delik pelanggaran. Tidak mau masuk penjara. Akhirnya mereka memilih mentaati aturan yang berlaku, seperti aturan batas kecepatan maksimal di jalan raya, aturan trafick light, aturan parkir, dan aturan tentang mobil itu sendiri. Mobil harus memiliki bukti lolos uji emisi, yang harus diperbaharui setiap tahun. Mobil harus memiliki asuransi. Mobil harus membayar pajak, dan lain sebagainya aturan  tentang mobil.
Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat dipaksa menjadi “baik” berdasarkan standar sistem yang dibuat negara bersama masyarakat. Untuk menjadi tertib, teratur dan rapi, ternyata tidak harus menunggu munculnya kesadaran setiap individu. Tidak harus menunggu contoh keteladanan dari para pimpinan. Namun bisa juga muncul dari sistem yang diberlakukan secara ketat dan tidak pandang bulu. Seorang Arnold Schwarzeneger yang menjadi gubernur California, tetap ditangkap dan mendapatkan hukuman denda ketika melakukan pelanggaran di jalan raya. Sama dengan warga California pada umumnya. Itu karena ada aturan dan hukum yang diberlakukan secara konsekuen dan konsisten.
Di negara kita tercinta Indonesia, tidak ada kekuatan yang bisa memaksa warga negara. Kita terlalu berlebihan memahami demokrasi dan hak asasi manusia, sehingga semua aturan harus ditentang dengan demonstrasi dan caci maki atas nama demokrasi dan hak asasi….. Sebaik apapun aturan itu, lawan dulu, hajar dulu, demonstrasi dulu, caci maki dulu…..  Luar biasa demokrasi kita….. Luar biasa tuntutan kita atas hak asasi manusia….  Hingga tak ada lagi yang bisa kita percaya…..
Los Angeles, Maret – Yogyakarta, April 2011
sumber: cahyadi-takariawan.web.id

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates