Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Kamis, 21 April 2011

Temu Jiwa Sentuh Fisik

Shalatnya panjang dan khusuk. Keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Hasrat dan rindu merangkak bersama malam yang kian kelam. Usai shalat perempuan itu akhirnya rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas. Lama sudah suaminya pergi. Untuk jihad, memang. Tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun jihad, perpisahan selalu membakar jiwa dengan rindu. Maka ia pun rebah dengan doa-doa; “Ya Allah, yang memperjalankan unta-unta, menurunkan kitab-kitab, memberi para pemohon, aku memohon pada-Mu agar Engkau mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar dengan itu Engkau lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah, tetapkanlah hukum-Mu di antara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami”.
Untungnya malam itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan memang sedang menyamar di tengah pemukiman warga. Tujuannya, ya, itu tadi; mencari tahu opini warga soal pengiriman mujahidin ke medan jihad, khususnya istri-istri mereka. Dan suara perempuanlah itulah yang ia dengar.
Ini tabiat yang membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Disini rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.
Cinta jiwa bukan sekedar kecenderungan spritiual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta jiwa mengandung kadar sahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik berasal. Mereka menyebutnya passionate love. Tanpa membawa semua penyakit. Sebagaimana hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.
Ini mengapa kita diperintahkan mengasihi para pecinta; supaya mereka terhindar dari cinta yang seharusnya menjadi energi, lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang tak pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih. Sebab, kata Ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan dan jiwa raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan memperkuat hubungan cinta kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah gelora hasrat terpenuhi,
Makna itu dapat dipahami Abdul Malik bin Marwan. Maka ia pun bertanya, “Berapa lama wanita bisa bertahan sabar?” “Enam bulan” jawab mereka. Kisah itu sebenarnya mengikuti pada temuan yang sama dimasa Umar bin Khattab. Dan di kedua kisah itu, kedua perempuan itu sama-sama melantunkan syair rindu dan hasrat, dan Abdul Malik bin Marwan mendengar bait ini;
air mata mengalir bersama larut malam
sedih mengiris hati dan merampas tidur
bergulat aku lawan malam
terawangi bintang hasrat rindu mendera-dera
melukai jiwa
Memang hanya puisi tempat jiwanya berlari. Melepas hasrat yang tak mau dilepas. Sebab rindu tetap saja rindu. Puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya. Sebab memang begitulah hukumnya; hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat jiwa
sumber: anismatta.com

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates