Oleh : Cahyadi Takariawan
Cerita di bawah ini pernah saya sampaikan kepada Nurul F. Huda untuk mengawali kisah Dua Laki-laki Pilihan yang dia tulis. Saya merasa perlu mengulang kisah ini, karena berkaitan dengan tema bab yang sedang kita bahas.
Seorang suami bercerita kepada saya, bahwa dalam usia pernikahannya yang memasuki tahun ketiga, ia tak juga merasa semakin mengenal isterinya. Masih sekian banyak hal-hal asing dan –bahkan– aneh yang ia temukan pada diri seorang makhluk “halus” bernama isterinya itu. Siapakah dirimu, wahai isteriku ? Demikian ia sering bertanya dalam hati.
Seorang perempuan yang tiba-tiba menangis tanpa sebab-sebab yang bisa diterima akal laki-laki. Seorang perempuan yang tiba-tiba ngambek hanya karena urusan kecil menurut ukuran laki-laki. Sesekali sedemikian manja dan amat ceria, pada kesempatan lain tampak begitu keras. Sesekali tampak cerdas dan pintar dalam berargumentasi, sesekali lain tampak sedemikian emosional dan logikanya tidak jalan.
Seperti ia sedang dihadapkan pada sebuah laboratorium bernyawa, tengah ada banyak penelitian dan pelajaran yang bisa dieksplorasi. Ia menghadapi hari-hari yang berharga, pengenalan demi pengenalan, pengalaman demi pengalaman, dan berbagai pertanyaan yang belum semua terjawabkan. Dulu waktu masih lajang, ia seorang pemuda yang tak berani bercanda dengan lawan jenisnya. Ia seorang laki-laki yang clingus kata orang Jawa, pemalu berat. Tak pernah berdekat-dekatan dengan perempuan. Sejak menikah, tiba-tiba setiap hari ia berhadapan dengan perempuan.
Dunia laki-laki sering mengajarkan pola hidup rasional, argumentatif, cenderung mengeliminir unsur perasaan, dan dalam banyak hal : kaku. Ia lebih bisa memahami mengapa seseorang berkelahi, daripada mengapa ada orang menangis dalam menyelesaikan masalah. Ia lebih bisa menerima seseorang yang berdebat-debat dalam mempertahankan keinginannya, daripada seseorang yang diam membisu dalam mengekspresikan kehendak. Ia lebih mudah mengerti jawaban “iya” dan “tidak”, daripada bahasa perasaan yang mengalir tanpa kejelasan.
Cukup sulit baginya mengerti makna air mata. Ia belajar menterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa manusia biasa, bahwa isterinya sama sekali bukan dirinya. Bahwa parameter-parameter perasaan dan logika tak selalu sama antara dua makhluk yang oleh Allah telah dikatakan sebagai wa laisadz dzakaru kal untsa. Tidak sama laki-laki dan perempuan. Dulu ia dilarang menangis oleh ayahnya ketika masih kecil, “Kamu laki-laki, jangan cengeng”. Lalu jika bukan karena sedang menangisi dosa di hadapan Allah, untuk apakah seseorang perlu menangis, padahal air mata tak akan bisa menyelesaikan permasalahan ?
Tapi sedemikian pulalah yang dihadapi oleh sang isteri. Seorang akhwat muslimah, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki-laki di masa lajangnya. Tiba-tiba ia merasa ada “raksasa yang memperkosa” banyak rahasia dirinya. Sehelai rambut yang sempat menyembul keluar dari balik kerudung rapihnya saja sudah cukup membuat ia malu dan merah padam wajahnya di hadapan komunitas kaum lelaki. Kini semua rambutnya berjurai lepas di dalam rumah, di hadapan seorang ikhwan !
Kaus kaki yang belum sempat dikenakan sehabis berwudhu di masjid kampus cukup membuatnya merasa amat berdosa tatkala tiba-tiba terlihat seorang laki-laki. Kini baju daster yang dikenakan di dalam rumah menampakkan kedua kakinya, di hadapan seorang ikhwan. Jubah bagian bawah yang sedikit saja terangkat ke atas sehingga menampakkan sebagian betis yang tak terlindungi kaus kaki saat men-starter sepeda motornya telah membuatnya sedemikian risih.
Doktrin “kewanitaan” yang menistakan seorang perempuan berlaku genit dan manja di hadapan laki-laki telah membentuk sikap tegar dan (mencoba) kuat. Kini, ia telah menjadi isteri. Ia harus belajar lembut, manja, bahkan genit di hadapan seorang makhluk asing dan (sedikit) kasar bernama laki-laki. Kini ia bahkan harus memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya di hadapan seorang ikhwan, suaminya. Hii, ngeri pada awal-awal ia hidup berdua dengan suaminya.
Ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan suami. Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara sangat dekat, tanpa jarak. Ia mulai berinteraksi dengan benda-benda perlengkapan laki-laki yang dulu tak pernah terjamah olehnya. Bahasa-bahasa dakwah yang kental dan bahkan amat pekat selama ini, telah mencetak sebuah kepribadian aktivis yang berbahasa lugas dan tak pandai juga tak terbiasa “berbunga-bunga” dalam berbahasa.
Kini harus ada evolusi kultural, sejak dari berpenampilan, berparfum di depan suami, bersolek wajah, merajuk, merayu, bersikap manja dan membahasakan cinta secara berbunga-bunga. Kesemuanya itu tidak pernah ada pelajarannya. Tidak pernah ada materi pembinaannya. Tiba-tiba harus bisa, dalam waktu sekejap saja.
Sebenarnyalah kesulitan yang mereka hadapi merupakan sesuatu yang wajar dan amat manusiawi. Betapa tidak. Pernikahan memang telah mempertemukan bukan saja dua individu yang berbeda, laki-laki dan perempuan, tetapi juga dua kepribadian yang berbeda, dua selera yang berbeda, dua latar budaya yang berbeda, dua karakter yang berbeda, dua otak dan dua hati, bahkan dua ruh yang tak sama. Apabila seorang manusia kadang-kadang mengalami suasana hati yang tak bisa penuh dipahaminya, bagaimana ia akan bisa penuh-penuh memahami suasana hati orang lain ?
Memasuki dunia keluarga sesungguhnya sedang menelusuri lorong-lorong peradaban baru, sebuah pengalaman berkehidupan baru bagi sepasang laki-laki dan perempuan. Tak semuanya bisa dirasionalkan begitu saja, kadang memerlukan proses penelaahan dan kontemplasi yang rumit untuk memahami fenomena kehidupan baru. Memahami suasana jiwa, logika berpikir dan perubahan-perubahan alamiyah, psikologis maupun fisiologis, yang mengalir bersama hari-hari dalam kehidupan rumah tangga. Kadang terasa sedemikian cepat hari-hari bergulir, tanpa terasa, seorang laki-laki telah menjadi bapak bagi anak yang kemudian lahir. Seorang perempuan tiba-tiba telah menimang dan menyusui anak hasil pernikahan mereka.
Belum selesai proses pengenalan terhadap pasangan hidup, kini harus memahami dan mengenali seorang bayi mungil. Bayi yang bahasanya tiada lain kecuali menangis, yang telah merebut sebagian besar perhatian isteri, yang telah menyebabkan cinta mulai terbagi. Ada sesuatu yang bertambah, namun juga berkurang, dalam hidup. Ada makhluk mungil yang amat ajaib. Seorang suami merasa sedemikian bangga bisa memiliki keturunan, seorang isteri sedemikian gembira mampu menjadi pelahir generasi baru. Itulah hari-hari yang terus akan bergulir. Proses pembelajaran yang tak pernah usai. Belum selesai belajar mengenal bayi pertama, akan disusul kemudian dengan bayi kedua dan seterusnya.
Kuliah S-1 yang baru saja mereka selesaikan berdua di kampus tak cukup membekali dengan teori-teori tentang “siapakah laki-laki dan perempuan”, dalam dataran teoritis, maupun aplikasi praktis. Pelajaran seks yang sering dimuat media massa dan menjadi perbincangan publik hanya sebatas indikator keperawanan, pecahnya selaput dara, kesehatan reproduksi, dan sekitarnya. Bahkan wacana diskursus fikih kontemporer belum juga membuka tabir air mata perempuan, rasionalitas laki-laki, sifat-sifat emosional, perasaan, kesetiaan, kekasaran atau kelembutan; sebab Fiqhun Nisa lebih banyak mengajarkan seputar darah wanita : haid, nifas, pendarahan kotor dan penyakit. Apalagi belum banyak yang secara khusus membedah Fiqhur Rijal.
Kita dibuat tidak secara pandai dan argumentatif memahami dunia pasangan kita, kecuali melalui pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan : kepedihan, duka, kegembiraan, kecemburuan, kekecewaan, kebanggaan, ketertarikan, keinginan dan ribuan determinasi perasaan lainnya. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa “aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan”, dan mestinya “engkau mengerti keinginanku”. Tetapi proses pembahasaan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakikat perasaan, sebab diksi tak selalu mampu menuturkan kata hati secara jeli dan teliti.
Bisa jadi banyak bias dengan ungkapan-ungkapan yang senantiasa diverbalkan, belum lagi kita berbicara tentang kejujuran. Nabi mulia bahkan membolehkan “bohong putih” suami kepada isteri –dan sebaliknya- yang dilakukan dalam rangka islah atas permasalahan kedua belah pihak; lalu jaminan apa lagi bagi kedua belah pihak untuk bisa menerima verbalitas kata-kata secara apa adanya ? Tatkala suami mengatakan “aku amat berbahagia di sisimu” dan dalam hatinya ia menyimpan kekesalan yang amat dalam kepada isterinya ? Atau isteri mengatakan “aku amat tenang di sampingmu” sementara ia menyimpan banyak kecurigaan kepada suaminya?
Saling mencintai memerlukan proses belajar. Nahnu nahkumu bizh zhawahir, demikian Islam mengajarkan kepada kita, yang kita jadikan pegangan hanya lahiriyahnya saja, tanpa harus membelah dada pasangan kita untuk mengetahui batas-batas kejujuran. Sejarah mencatat kehidupan seorang laki-laki yang setelah sepuluh tahun menikah baru bisa berbicara terus terang kepada isterinya, bahwa ia baru tumbuh rasa cinta pada saat itu. Artinya, selama sepuluh tahun pernikahan ia berada dalam kepura-puraan di hadapan sang isteri. Lalu, atas dasar apakah seorang isteri akan mempercayai cinta suami pada tahun kesebelas dan tahun-tahun berikutnya, jika bukan dari apa yang diungkapkan suami secara verbal ?
Saya kira laki-laki tadi pun sesungguhnya tak perlu mengungkapkan kepada sang isteri bahwa sepuluh tahun ia mampu bermain sandiwara dengan baik. Sebab, justru akan membuka peluang prasangka berikutnya pada isteri : sandiwara apa lagi yang akan dimainkan suami pada waktu-waktu mendatang ? Sebatas apa garansi kepercayaan bisa diberikan secara timbal balik atas apa yang diucapkan dengan yang dirasakan ? Menyakitkan, dan amat menyakitkan pernyataan itu.
Cinta bisa saja menimbulkan prasangka, justru karena ingin mengekalkan kecintaan itu. Sebagaimana, saling percaya harus tumbuh di atas benih-benih kesuburan cinta dan kasih sayang suami isteri secara timbal balik. Tak pelak, keikhlasan harus memancar secara tulus dari kedua belah pihak untuk menerima apa adanya pasangan hidup masing-masing. Karena keputusan untuk menikah dengan calon suami atau isteri pada saat awal kehidupan rumah tangga dulu, adalah pilihan bebas dari laki-laki dan perempuan, tanpa ada satu pihakpun yang bisa memaksakan terjadinya pernikahan itu sendiri.
Menikah adalah pilihan sadar yang dilindungi setiap hak laki-laki dan perempuan dalam Islam. Orang tua tak ada hak memaksa anak perempuan untuk menikah dengan seorang laki-laki, guru mengaji tak ada hak memaksa seseorang menikah dengan orang lainnya, bahkan kepala negara –khalifah- sekalipun, tak diberi tongkat pemaksa itu. Seorang laki-laki berhak menentukan pilihan pasangan hidup, sebagaimana seorang perempuan berhak menentukan pilihan pasangan hidupnya. Jika kemudian sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan saling menerima dan sepakat untuk melangsungkan pernikahan, maka atas alasan apakah satu pihak merasa terpaksa berada di samping pasangan hidupnya setelah resmi berumah tangga ?
Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar untuk menentukan keputusan berkaitan dengan pilihan pasangan hidup. Tetapi, begitu akad nikah terjadi, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri, apabila satu pihak mencoba senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pihak lainnya; dengan merasa benar dan bersih sendiri. Pilihan menjadi lebih terbatas : menerima dan mencintai pasangan hidupnya itu. Apabila belum juga muncul rasa cinta setelah terlaksananya pernikahan, alternatif yang paling mungkin adalah : belajar mencintai. Teruslah menjadi orang yang belajar mencintai.
Memang ada pilihan lain yang diajarkan shahabiyat Habibah binti Sahl, ketika ia mengajukan khulu’ di hadapan Nabi saw, “Saya tidak mencela agama dan akhlak suami saya, tetapi saya khawatir menjadi kufur jika hidup bersama dengan dia”. Sebuah ungkapan yang luar biasa lugas dan tandas. Ia seorang perempuan Madinah yang mengajarkan pilihan-pilihan hidup rasional dan manusiawi kepada setiap perempuan. Nabi saw pun memberikan jalan keluar yang amat manusiawi, dan inilah keindahan Islam. Namun, cerai bukan jalan pertama yang harus dikemukakan, sebab proses belajar menerima dan mencinta harus terjadi terlebih dahulu.
Untuk bisa mencintai dan merasakan dicintai, diperlukan pengenalan; sebagaimana kata orang bijak tak kenal maka tak sayang. Maka belajarlah mengenali pasangan hidup masing-masing. Apa yang menyenangkan dirinya, apa yang membuat sedih dan marah. Apa yang disukainya, dan apa yang membuatnya benci dan jijik. Apa tanda ia suka, apa tanda ia benci. Apa tanda ia gembira, apa tanda ia sedih. Apa indikasi ketenangannya, dan apa indikasi kegelisahannya. Kata-kata apa yang ingin didengar, dan kalimat apa yang tak ingin didengar.
Tetapi bukankah yang mengetahui detail-detail diri kita adalah kita sendiri ? Dan bukankah kita tidak pernah menyempatkan waktu untuk menulis segala sesuatu tentang diri kita sendiri ? Lalu darimana pasangan hidup mengetahui tentang diri kita, yang tak pernah ada kepustakaan di muka bumi ini menulis tentang kepribadian kita ? Kemudian kita membiarkan pasangan hidup kita membaca dan menebak sendiri segala sesuatu, hingga ia akan paham dan mengerti dengan sendirinya tanpa harus diberitahu. Ah, proses pengenalan yang kelewat panjang dan menghabiskan energi.
Mengapa kita tidak belajar terbuka saja kepada suami dan isteri kita, mengatakan sesuatu secara terbuka, apa adanya, tentang buah-buahan kesukaan, tentang warna baju kesayangan, tentang lagu yang disukai. Mengapa kita tidak belajar jujur saja, dari hari ke hari, merenda kata-kata untuk mengutarakan segala daftar selera. Mengucapkan pilihan-pilihan bahasa perasaan, dan mempertemukan dengan daftar selera serta perasaan pasangan kita. Satu persatu, mengeja hari, mendata kosa kata, memperbincangkan diri sendiri di depan pasangan kita. Dari apel, durian dan jeruk; sayur asem, cha kangkung, bayam rebus dan sambal terasi; lagu klasik, nasyid, atau campursari; baju lengan panjang, warna krem, daster lurik, dan piyama batik.
Dari shampo, sabun mandi cair, sikat dan pasta gigi. Make up, pembersih kulit, lulur dan alas bedak. Tentang hobi renang dan mendaki gunung. Tentang tokoh-tokoh kenegaraan, artis kesayangan, penulis-penulis besar dunia. Soal jumlah anak, nama-nama anak, dan jenis kelamin yang dikehendaki. Bahkan afiliasi organisasi dan partai politik. Atau apapun lah yang ingin diceritakan, saling berbagi rasa, berbagi cerita, mentertawakan kelucuan-kelucuan di masa lalu. Sekaligus meretas cita-cita masa depan.
Ya, kita bisa dengan cepat belajar paham dari adanya keterbukaan, untuk kemudian merasakan cinta dan kasih sayang yang mengalir dari pasangan hidup kita setiap harinya. Mencoba merasakan apa-apa yang dia berikan sebagai sesuatu ungkapan cinta dan kerinduan. Belajar memahami ungkapan kemesraan yang tak begitu sempurna terucap lewat kata-kata dan tingkah laku pasangan kita. Menikmati keluguan demi keluguan orang yang tengah belajar mencinta dan dicinta. Menerima apa adanya ucapan amat kaku ungkapan kasmaran, “Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku” yang diucapkan pun secara terbata-bata. Tidak mentertawakan proses pembelajaran yang tidak sempurna itu, bahkan merasakannya sebagai sebuah kesungguhan meraih kenikmatan hidup berumah tangga.
Adalah wajar orang yang tengah belajar mengalami kesulitan serta kegagapan. Menyetir mobil pertama kali penuh ketegangan, dan menegangkan orang lain. Belajar bahasa Inggris bermula dengan amat mengeja, sebagaimana belajar menulis huruf Arab yang tak ubahnya proses membatik kain. Demikian pun belajar bahasa cinta. Belajar bahasa romantisme. Belajar bahasa hidup suami isteri. Belajar bahasa perasaan. Belajar bahasa logika. Sangat mungkin diawali oleh kesulitan dan kegagapan, mencoba-coba dan kadang merasa gagal untuk mencapai keindahan pengungkapan.
Proses pun berlalu, waktu demi waktu. Belajar rupanya tak pernah usai, dari satu bab selera, berpindah ke bab kosa kata. Dari bab perasaan ke bab logika. Dari bab belanja ke bab latar budaya. Sampai kita merasakan kedalaman pengenalan, agar bisa merasakan kedalaman kecintaan. Sampai kita menemukan dasar sumur hati dan perasaan pasangan kita, agar bisa mengukur kebutuhan tangga untuk mencapainya. Luar biasa indahnya makhluk ciptaan Allah bernama manusia, pasangan hidup kita itu. Darinya kita belajar, dan tak pernah usai, berapapun jumlah hitungan usia kita.
Jangankan tiga tahun hidup berumah tangga, sampai wafat kita juga rasanya tak cukup proses pembelajaran itu. Oleh karenanya yang diperlukan adalah kesiapan belajar dan menerima hasil pembelajaran dalam hidup berumah tangga. Teruslah menjadi orang yang belajar mencinta dan dicinta. Jangan pernah berhenti.
Demikianlah kisah di atas saya ungkap kembali, untuk memberikan pengantar bahwa memasuki bulan-bulan di tahun pertama hidup berkeluarga tidaklah mudah. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pasangan yang memproses pernikahannya Islami, akan tetapi juga berlaku bagi mereka yang telah mengalami masa berpacaran dengan waktu yang cukup lama.
Jika dalam masa berpacaran laki-laki dan perempuan cenderung menutupi kekurangan dan kelemahan diri, dengan menampilkan kebaikan dan keindahannya saja, maka begitu bersatu dalam keluarga hal itu tak mungkin terjadi lagi. Seluruh kelemahan akan tertampakkan, seluruh kekurangan akan tergambarkan, semua kebiasaan buruk akan terungkapkan. Suami dan isteri berada pada suatu posisi yang tidak berjarak, mereka dekat dan amat dekat, sehingga semua kebiasaan diri akan dimengerti oleh pasangannya.
Kebiasaan tidur mendengkur, kebiasaan makan dengan “mengecap” (mengeluarkan bunyi dari mulut waktu makan), kebiasaan menguap dengan lebar, kebiasaan bersendawa, kebiasaan membuang kotoran dan sampah di sembarang tempat, yang semula bisa dirahasiakan dari calon suami atau calon isteri, dalam berumah tangga hal itu tidak akan tersembunyikan. Maka tampaklah anda apa adanya, polos, seperti kondisi sesungguhnya diri anda, di hadapan suami atau isteri anda.
Apabila kondisi yang ada ini tidak seperti yang diharapkan oleh pasangan, dan pasangannya tidak bisa memahami atau menerima kondisi tersebut, muncullah masalah demi masalah yang harus segera diselesaikan…..
0 komentar:
Posting Komentar