Jumat, 22 April 2011

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah Atas Peran Islam

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009
lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama
tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar
tentang Kartini. Judulnya: “*Mengapa Harus Kartini?*”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia
ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap *21 April* bangsa
Indonesia memperingati *Hari Kartini*? Apakah tidak ada wanita Indonesia
lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca
dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu
saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan
sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru,
guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. *Harsja W. Bachtiar* pernah
menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘*pengkultusan*‘ R.A. Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku *Satu Abad Kartini* (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul
“*Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita*“. Tulisan ini bernada gugatan
terhadap penokohan Kartini. “*Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta
sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya
lebih lanjut,*” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor
sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang
hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam
*Safiatuddin
Johan* Berdaulat dari Aceh dan kedua, *Siti Aisyah We Tenriolle* dari
Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam
buku *Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia* (Jakarta: Balai
Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja
Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. *Sultanah
Safiatudin *dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan
ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa
Arab
, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan
kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari
Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil
menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun
tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi
lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal
sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah *Siti Aisyah We
Tenriolle*. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi
juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah
Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat
sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah
pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk
anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang *dipilih *oleh orang Belanda untuk
*ditampilkan *ke depan sebagai *pendekar kemajuan wanita pribumi* di
Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami
istri. Adalah *Cristiaan Snouck Hurgronje*, penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan,
Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “*Abendanon mengunjungi mereka dan
kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan
Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi
di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.*


Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan *Estella Zeehandelaar*,
seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).
Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai *perjuangan wanita *dan *sosialisme*. Tokoh sosialisme
H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” *C.Th. van Deventer* adalah
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun
1911, Abendanon *menerbitkan *kumpulan surat-surat Kartini dengan judul *Door
Duisternis tot Lich*. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan
judul *Letters of a Javaness Princess*. Beberapa tahun kemudian, terbit
terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul *Habis Gelap Terbitlah Terang
*: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa *pengumpulan dana *yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan *Komite Kartini
Fonds*, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih *
memperkenalkan* nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.
Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “*Orang-orang Indonesia di luar
lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak
mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana
orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam
tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.*”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut, “*Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah
yang mengembangkannya lebih lanjut.*”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri
tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “
*Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih
mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa
wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa
memperkecilpenghargaan kita pada RA Kartini.
*”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar
Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan,
seperti *Dewi Sartika *di Bandung dan *Rohana Kudus *di Padang (kemudian
pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja
dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan *lebih* dari yang dilakukan
Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana
dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

*Dewi Sartika* (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan *Sakola
Kautamaan Istri *(1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar
Bandung. *Rohana Kudus* (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung
halamannya. Selain mendirikan *Sekolah Kerajinan Amal Setia *(1911) dan *Rohana
School *(1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai *jurnalis wanita
pertama *di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
jauh melangkah: *mewujudkan ide-ide* dalam *tindakan nyata*. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
klaim-klaim *keterbelakangan
*kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini *harus *segera *
digugurkan*. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang
mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah,
selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah
wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu
yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum
Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki *Panglima Angkatan
Laut wanita *pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon *memilih *Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga
mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada
Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda
atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki *visi
keislaman *yang tegas. “*Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,*” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini *tidak terlepas *dari *peran *Belanda. Harsja W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama *Snouck Hurgronje *dalam rangkaian penokohan Kartini
oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang *orientalis *Belanda yang
memiliki kebijakan sistematis untuk *meminggirkan Islam *dari bumi
Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama
mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda
untuk *memperkecil
*peran *Islam *dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, *Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu *((Bandung: Mizan,
1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

*“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan
ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada
akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan
mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh
itu masih berlaku sampai dewasa ini.”*

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada
Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali *menyebut *nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai *orang
hebat *yang sangat *pakar *dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny.
Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

“*Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan
teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau
tentang hal berikut: ‘Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig
seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?‘ Ataukah sebaiknya
saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali
mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak
perempuannya.*” (Lihat, buku Kartini: *Surat-surat kepada Ny. R.M.
Abendanon-Mandri dan Suaminya*, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, *Snouck Hurgronje en Islam *(Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul *Snouck Hurgronje dan Islam*, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ‘*menaklukkan Islam*‘. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar
Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk *menyatakan diri* sebagai
seorang *muslim
*(1885) dan *mengganti nama *menjadi *Abdul Ghaffar*. Dengan itu dia bisa
diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya
memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai
wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck *dianggap* oleh banyak
kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘*ulama*‘. Bahkan ada yang menyebutnya
sebagai “*Mufti Hindia Belanda*“. Juga ada yang memanggilnya “Syaikhul Islam
Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: “*Sesungguhnya agama
ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab,
tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu
perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk
mengharapkannya.*” (hal. 116).

*Snouck Hurgronje* (lahir: 1857) adalah *adviseur *pada Kantoor voor
Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas
memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam
bukunya, *Politik Islam Hindia Belanda*, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib
Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck
Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah
melakukan *pembaratan *kaum elite pribumi melalui *dunia pendidikan*,
sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang
berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan
pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak
pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, *Islam Indonesia *akan
mengalami *kekalahan
akhir *melalui *asosiasi *pemeluk agama ini ke dalam *kebudayaan *Belanda.
Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa *asosiasi
kebudayaan *yang ditopang oleh *pendidikan Barat *akan keluar sebagai *
pemenangnya*. Apalagi, jika didukung oleh *kristenisasi *dan *pemanfaatan
adat*. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan
Islam di Indonesia: “*Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh
misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk
menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat
mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.*”
(hal. 24).

Itulah *strategi *dan *taktik *penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita
melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan
untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini
semakin canggih dilakukan. *Kader-kader *Snouck dari kalangan ‘pribumi
Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai
Muslim dan *silau *dengan *peradaban Barat*, banyak ‘anak didik Snouck’ –
langsung atau pun tidak – yang sibuk *menyeret Islam *ke bawah *orbit
*peradaban
Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka
lakukan adalah *merusak *Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah
berbuat kebaikan.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates