Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Oktober 2011

10.000=2 nasi bungkus + 2 teh + 6tahu isi dan mendoan

Pagi ini sy jalan2 ke pasar pagi di Purworejo, tempat kelahiran Pahlawan Nasional Ahmad Yani dan Sarwo Edhie Wibowo sekaligus tempat kelahiran Untung sang tokoh PKI. Pasar yg betul2 pagi karena mulai buka jam 3 pagi. Saat para pedagang mulai mengais rejeki. Jalan2 dalam rangka pengecekan atas saudara yg mau mengajukan pinjaman utk usaha dagangnya. sekedar memastikan apakah 2 kios dagangnya benar2 berjalan normal. Sy aduk2 seluk beluk pasar dg segala keramahan semua penghuninya. Di tengah pasar yg jauh dari hiruk-pikuk resufel kabinet itu, cermin multi etnis ada disana. Saat ide nyate kambing muncul begitu saja, maka sy putuskan beli daging kambing. Penjualnya sy ajak ngomong dg bahasa jawa. "Piro iki kang", tanya saya. "Iku lima puluh ribu", jawabnya. Lalu "kok larang men tho", kata saya lagi. "Nggak ini sudah murah, beli semua saja Pak", katanya. Saat itu sy sadar orang ini pasti nggak bisa basa jawa. Maka saya tanya "dari mana. Mas?", " sy dari Sulawesi Pak". Saya timpali lagi "lha kok disini, nggak jualan sama Yusuf Kalla saja". Sy baru tahu bahwa disampingnya istrinya ternyata orang jawa. Saya teruskan jalan-jalannya, dan beli kue kelapa, lagi2 pedagangnya gak bisa basa jawa, ternyata dia dari Tasikmalaya. Lalu lagi seorang kuli panggul barang, dg terbata2 melayani pertanyaan bhs jawa saya. Itulah cermin Indonesia yg begitu harmonis dalam keragaman etnis, budaya dan agama. Saya temui itu semua nun jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Saat perut mulai keroncongan, sy ajak adik yg ngantar saya utk sarapan, karena matahari mulai menyembul. Makan 2 bungkus nasi, dg lauk mi goreng dan gudeg jogya. Agar mak nyuss, plus tahu isi dan teh manis. Setelah puas menikmati itu semua, sy sempatkan bawa pulang 6 tempe mendoan. Lalu sy minta si mbok pemilik kedai menghitung berapa ongkosnya. Lalu dia jawab ,sepuluh ribu Mas. Setengah tidak percaya, sy bilang lagi, coba hitung lagi mbok. Iya Mas semua sepuluh ribu. Lalu sy ulurkan dua lembar uang 5 ribuan. Sambil jalan pulang, Ya Allah, para penghuni pasar ini mereka saling bantu satu sama lain. Si mbok pemilik kedai, membantu para pedagang pasar pagi, tukang parkir dan kuli panggul dg menyediakan makan dg harga terjangkau. Gak perlu untung banyak, yg penting bisa menyambung hidup. Dibenak saya berkecamuk pikiran, lha tempe mendoan itu kalu dijakarta dijual 2000 an, disini cuma 500 perak. Jakarta lebih mahal 4x dalam hal harga tempe mendoan. Sy bayangkan cara berfikir si mbok tadi dan para pialang saham di IDX atau wall street sana. Benarlah kata Gandi "Dunia seisinya cukup utk menghidupi seluruh penduduk bumi, tapi tidak cukup menghidupi satu saja orang serakah dan tamak". Berbahagialah yg dapat mensyukuri yg ada, tanpa kehilangan semangat untuk maju dalam kewajaran.

Catatan singkat mengisi libur pendek (copas dari milis sbelah)
Published with Blogger-droid v1.7.4

Kamis, 20 Oktober 2011

Panduan qurban dan pembahasannya

Panduan Qurban dan Pembahasannya
Published with Blogger-droid v1.7.4

Minggu, 16 Oktober 2011

Cinta Bersemi Di Pelaminan


By Anis Matta
Lupakan! Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami Nasr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Disini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu! Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.
Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.

Jumat, 14 Oktober 2011

Nikmati Jalan Dakwah Ini | namaku cahyadi takariawan

Nikmati Jalan Dakwah Ini 
by: Pak Cah

Terlalu sering saya sampaikan, agar kita tidak gagal dalam menikmati jalan dakwah. Dalam berbagai forum dan tulisan, saya selalu mengajak dan mengingatkan, agar kita selalu menjadikan jalan dakwah ini sebagai sesuatu yang kita nikmati. Segala renik yang ada di sepanjang jalannya: suka dan duka, tawa ria dan air mata, kemenangan dan kepedihan, tantangan dan kekuatan, sudahlah, semua itu adalah bagian yang harus bisa kita reguk kenikmatannya.
Di antara doa yang sering saya munajatkan adalah, “Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan ini.” Tentu saja bersama doa-doa permohonan lainnya. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang mengurai kembali ikatan yang telah direkatkan, mengungkit segala yang telah diberikan, dengan perasaan menyesal dan meratapi segala yang pernah terjadi di jalan ini.
Saya merasa bukan siapa-siapa, dan hanya seseorang yang mendapatkan banyak kemuliaan di jalan ini. Mendapatkan banyak saudara, mendapatkan banyak ilmu, memiliki banyak pengalaman, mengkristalkan banyak hikmah, menguatkan berbagai potensi diri, menajamkan mata hati dan mata jiwa. Luar biasa, sebuah jalan yang membawa berkah melimpah. Maka, merugilah mereka yang telah berada di jalan ini tetapi tidak mampu menikmati.
Maka mari kita nikmati jalan dakwah ini, “sebagai apapun” atau “tidak sebagai apapun” kita. Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa “iya” bisa “tidak”. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut.
Kamu siapa ?
“Saya pengurus partai dakwah”. Ini bisa disebut.
“Saya pejabat publik yang diusung oleh partai dakwah”. Ini juga bisa disebut.
“Saya pemimpin organisasi dakwah”. Ini sangat mudah disebut.
“Saya kepala daerah yang dicalonkan dari partai dakwah”. Ini cepat disebut.
Tapi, kamu siapa ?
“Saya orang yang selalu berdakwah. Pagi, siang, sore dan malam. Kelelahan adalah kenikmatan. Perjuangan adalah kemuliaan. Saya bahkan tidak tahu, apa nama diri saya. Karena saya lebih suka memberikan hal terbaik bagi dakwah, daripada mencari definisi saya sebagai apa di jalan ini”.
Ya. Nikmati saja jalan ini. Sebagai apapun, atau tidak sebagai apapun diri kita di jalan dakwah. Jangan gagal menikmati.
Selesai Rapat di Markaz Dakwah, Simatupang.

Selasa, 07 Juni 2011

Menyiapkan Jiwa

Posted by Pak Cah
Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan.
Esensi doa ini adalah untuk menyiapkan jiwa menyambut Ramadhan. Berharap memasuki bulan Rajab dan Sya’ban dengan penuh berkah. Berharap dua bulan lagi bisa memasuki Ramadhan dengan kondisi kesehatan, kekuatan, dan kebaikan yang prima.
Jiwa manusia sering berada dalam kehampaan dan ketidaksiapan. Sibuk dengan berbagai urusan dunia, sibuk dengan kerja, sibuk dengan politik, sibuk dengan bisnis, sibuk dengan mengejar target pekerjaan, sibuk berkarier, sibuk memikirkan kenaikan pangkat, sibuk mengusahakan kebaikan posisi dan gaji.
Namun tidak sibuk mengingat Allah, tidak sibuk berdzikir, tidak sibuk taubat, tidak sibuk wirid, tidak sibuk shalawat, tidak sibuk tilawah, tidak sibuk qiyamul lail, tidak sibuk ibadah sunah, tidak sibuk istighfar, tidak sibuk bertasbih, tidak sibuk bertahmid, tidak sibuk bertakbir.
Betapa lalai dan lemah jiwa kita…. Tiba-tiba Ramadhan sudah tiba. Tak ada kesiapan jiwa memasukinya.
Tidak semua manusia bisa bertemu Ramadhan dengan sepenuh kehadiran jiwa. Kendati tinggal dua bulan lagi. Sekarang kita memasuki bulan Rajab, bulan berikutnya adalah Sya’ban. Setelah itu datanglah bulan teramat istimewa, Ramadhan.
Di antara manusia ada yang telah dipanggil menghadap Allah sebelum sempat menikmati Ramadhan berikutnya. Bahkan ada yang meninggal sehari sebelum masuk bulan Ramadhan. Kita tidak tahu apakah akan bisa menjumpai Ramadhan tahun ini. Untuk itulah kita berdoa, memohon agar bisa menjumpai Ramadhan lagi dengan sepenuh cinta.
Namun untuk apa kita perlu bertemu Ramadhan ? Untuk mendapatkan berbagai keistimewaannya. Agar bisa menemukan segala rahasia keindahan Ramadhan yang Ia berikan kepada kita. Sepenuh jiwa kita berharap limpahan rahmat, berkah, ampunan, kehidupan yang taqwa, akhir hidup yang mulia, akhirat yang bahagia.
Dua bulan menjelang Ramadhan, berharap bisa kita lalui sepenuh keberkahan dariNya. Jika dua bulan ini mampu kita isi dengan aktivitas yang penuh berkah, insyaallah kita akan bisa sampai Ramadhan dengan kesiapan jiwa untuk menikmatinya. Bisa berenang pada samudera kerahmatan Ramadhan yang teramat luas tanpa batas.
Berkahi kami di Rajab ini ya Allah…
Berkahi kami pada Sya’ban esok ya Allah…
Hingga kami sampai ke Ramadhan dengan sepenuh ketulusan dan kesiapan jiwa….
Aamiin…

Rabu, 04 Mei 2011

Belajar Mencintai dan Dicintai…..

Oleh : Cahyadi Takariawan


Cerita di bawah ini pernah saya sampaikan kepada Nurul F. Huda untuk mengawali kisah Dua Laki-laki Pilihan yang dia tulis. Saya merasa perlu mengulang kisah ini, karena berkaitan dengan tema bab yang sedang kita bahas.
Seorang suami bercerita kepada saya, bahwa dalam usia pernikahannya yang memasuki tahun ketiga, ia tak juga merasa semakin mengenal isterinya. Masih sekian banyak hal-hal asing dan –bahkan– aneh yang ia temukan pada diri seorang makhluk “halus” bernama isterinya itu. Siapakah dirimu, wahai isteriku ? Demikian ia sering bertanya dalam hati.
Seorang perempuan yang tiba-tiba menangis tanpa sebab-sebab yang bisa diterima akal laki-laki. Seorang perempuan yang tiba-tiba ngambek hanya karena urusan kecil menurut ukuran laki-laki. Sesekali sedemikian manja dan amat ceria, pada kesempatan lain tampak begitu keras. Sesekali tampak cerdas dan pintar dalam berargumentasi, sesekali lain tampak sedemikian emosional dan logikanya tidak jalan.
Seperti ia sedang dihadapkan pada sebuah laboratorium bernyawa, tengah ada banyak penelitian dan pelajaran yang bisa dieksplorasi. Ia menghadapi hari-hari yang berharga, pengenalan demi pengenalan, pengalaman demi pengalaman, dan berbagai pertanyaan yang belum semua terjawabkan. Dulu waktu masih lajang, ia seorang pemuda yang tak berani bercanda dengan lawan jenisnya. Ia seorang laki-laki yang clingus kata orang Jawa, pemalu berat. Tak pernah berdekat-dekatan dengan perempuan. Sejak menikah, tiba-tiba setiap hari ia berhadapan dengan perempuan.
Dunia laki-laki sering mengajarkan pola hidup rasional, argumentatif, cenderung mengeliminir unsur perasaan, dan dalam banyak hal : kaku. Ia lebih bisa memahami mengapa seseorang berkelahi, daripada mengapa ada orang menangis dalam menyelesaikan masalah. Ia lebih bisa menerima seseorang yang berdebat-debat dalam mempertahankan keinginannya, daripada seseorang yang diam membisu dalam mengekspresikan kehendak. Ia lebih mudah mengerti jawaban “iya” dan “tidak”, daripada bahasa perasaan yang mengalir tanpa kejelasan.
Cukup sulit baginya mengerti makna air mata. Ia belajar menterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa manusia biasa, bahwa isterinya sama sekali bukan dirinya. Bahwa parameter-parameter perasaan dan logika tak selalu sama antara dua makhluk yang oleh Allah telah dikatakan sebagai wa laisadz dzakaru kal untsa. Tidak sama laki-laki dan perempuan. Dulu ia dilarang menangis oleh ayahnya ketika masih kecil, “Kamu laki-laki, jangan cengeng”. Lalu jika bukan karena sedang menangisi dosa di hadapan Allah, untuk apakah seseorang perlu menangis, padahal air mata tak akan bisa menyelesaikan permasalahan ?
Tapi sedemikian  pulalah yang dihadapi oleh sang isteri. Seorang akhwat muslimah, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki-laki di masa lajangnya. Tiba-tiba ia merasa ada “raksasa yang memperkosa” banyak rahasia dirinya. Sehelai rambut yang sempat menyembul keluar dari balik kerudung rapihnya saja sudah cukup membuat ia malu dan merah padam wajahnya di hadapan komunitas kaum lelaki. Kini semua rambutnya berjurai lepas di dalam rumah, di hadapan seorang ikhwan !
Kaus kaki yang belum sempat dikenakan sehabis berwudhu di masjid kampus cukup membuatnya merasa amat berdosa tatkala tiba-tiba terlihat seorang laki-laki. Kini baju daster yang dikenakan di dalam rumah menampakkan kedua kakinya, di hadapan seorang ikhwan. Jubah bagian bawah yang sedikit saja terangkat ke atas sehingga menampakkan sebagian betis yang tak terlindungi kaus kaki saat men-starter sepeda motornya telah membuatnya sedemikian risih.
Doktrin “kewanitaan” yang menistakan seorang perempuan berlaku genit dan manja di hadapan laki-laki telah membentuk sikap tegar dan (mencoba) kuat. Kini, ia telah menjadi isteri. Ia harus belajar lembut, manja, bahkan genit di hadapan seorang makhluk asing dan (sedikit) kasar bernama laki-laki. Kini ia bahkan harus memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya di hadapan seorang ikhwan, suaminya. Hii, ngeri pada awal-awal ia hidup berdua dengan suaminya.
Ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan suami. Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara sangat dekat, tanpa jarak. Ia mulai berinteraksi dengan benda-benda perlengkapan laki-laki yang dulu tak pernah terjamah olehnya. Bahasa-bahasa dakwah yang kental dan bahkan amat pekat selama ini, telah mencetak sebuah kepribadian aktivis yang berbahasa lugas dan tak pandai juga tak terbiasa “berbunga-bunga” dalam berbahasa.
Kini harus ada evolusi kultural, sejak dari berpenampilan, berparfum di depan suami, bersolek wajah, merajuk, merayu, bersikap manja dan membahasakan cinta secara berbunga-bunga. Kesemuanya itu tidak pernah ada pelajarannya. Tidak pernah ada materi pembinaannya. Tiba-tiba harus bisa, dalam waktu sekejap saja.
Sebenarnyalah kesulitan yang mereka hadapi merupakan sesuatu yang wajar dan amat manusiawi. Betapa tidak. Pernikahan memang telah mempertemukan bukan saja dua individu yang berbeda, laki-laki dan perempuan, tetapi juga dua kepribadian yang berbeda, dua selera yang berbeda, dua latar budaya yang berbeda, dua karakter yang berbeda, dua otak dan dua hati, bahkan dua ruh yang tak sama. Apabila seorang manusia kadang-kadang mengalami suasana hati yang tak bisa penuh dipahaminya, bagaimana ia akan bisa penuh-penuh memahami suasana hati orang lain ?
Memasuki dunia keluarga sesungguhnya sedang menelusuri lorong-lorong peradaban baru, sebuah pengalaman berkehidupan baru bagi sepasang laki-laki dan perempuan. Tak semuanya bisa dirasionalkan begitu saja, kadang memerlukan  proses penelaahan dan kontemplasi yang rumit untuk memahami fenomena kehidupan baru. Memahami suasana jiwa, logika berpikir dan perubahan-perubahan alamiyah, psikologis maupun fisiologis, yang mengalir bersama hari-hari dalam kehidupan rumah tangga. Kadang terasa sedemikian cepat hari-hari bergulir, tanpa terasa, seorang laki-laki telah menjadi bapak bagi anak yang kemudian lahir. Seorang perempuan tiba-tiba telah menimang dan menyusui anak  hasil pernikahan mereka.
Belum selesai proses pengenalan terhadap pasangan hidup, kini harus memahami dan mengenali seorang bayi mungil. Bayi yang bahasanya tiada lain kecuali menangis, yang telah merebut sebagian besar perhatian isteri, yang telah menyebabkan cinta mulai terbagi. Ada sesuatu yang bertambah, namun juga berkurang,  dalam hidup. Ada makhluk mungil yang amat ajaib. Seorang suami merasa sedemikian bangga bisa memiliki keturunan, seorang isteri sedemikian gembira mampu menjadi pelahir generasi baru. Itulah hari-hari yang terus akan bergulir. Proses pembelajaran yang tak pernah usai. Belum selesai belajar mengenal bayi pertama, akan disusul kemudian dengan bayi kedua dan seterusnya.
Kuliah S-1 yang baru saja mereka selesaikan berdua di kampus tak cukup membekali dengan teori-teori tentang “siapakah laki-laki dan perempuan”, dalam dataran teoritis, maupun aplikasi praktis. Pelajaran seks yang sering dimuat media massa dan menjadi perbincangan publik hanya sebatas indikator keperawanan, pecahnya selaput dara, kesehatan reproduksi, dan sekitarnya. Bahkan wacana diskursus fikih kontemporer belum juga  membuka tabir air mata perempuan, rasionalitas laki-laki, sifat-sifat emosional, perasaan, kesetiaan, kekasaran atau kelembutan; sebab Fiqhun Nisa lebih banyak mengajarkan seputar darah wanita : haid, nifas, pendarahan kotor dan penyakit. Apalagi belum banyak yang secara khusus membedah Fiqhur Rijal.
Kita dibuat tidak secara pandai dan argumentatif memahami dunia pasangan kita, kecuali melalui pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan : kepedihan, duka, kegembiraan, kecemburuan, kekecewaan, kebanggaan, ketertarikan, keinginan dan ribuan determinasi perasaan lainnya. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa “aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan”, dan mestinya “engkau mengerti keinginanku”. Tetapi proses pembahasaan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakikat perasaan, sebab diksi tak selalu mampu menuturkan kata hati secara jeli dan teliti.
Bisa jadi banyak bias dengan ungkapan-ungkapan yang senantiasa diverbalkan, belum lagi kita berbicara tentang kejujuran. Nabi mulia bahkan membolehkan “bohong putih” suami kepada isteri –dan sebaliknya- yang dilakukan dalam rangka islah atas permasalahan kedua belah pihak; lalu jaminan apa lagi bagi kedua belah pihak untuk bisa menerima verbalitas kata-kata secara apa adanya ? Tatkala suami mengatakan “aku amat berbahagia di sisimu” dan dalam hatinya ia menyimpan kekesalan yang amat dalam kepada isterinya ? Atau isteri mengatakan “aku amat tenang di sampingmu” sementara ia menyimpan banyak kecurigaan kepada suaminya?
Saling mencintai memerlukan proses belajar. Nahnu nahkumu bizh zhawahir, demikian Islam mengajarkan kepada kita, yang kita jadikan pegangan hanya lahiriyahnya saja, tanpa harus membelah dada pasangan kita untuk mengetahui batas-batas kejujuran. Sejarah mencatat kehidupan seorang laki-laki yang setelah sepuluh tahun menikah baru bisa berbicara terus terang kepada isterinya, bahwa ia baru tumbuh rasa cinta pada saat itu. Artinya, selama sepuluh tahun pernikahan ia berada dalam kepura-puraan di hadapan sang isteri. Lalu, atas dasar apakah seorang isteri akan mempercayai cinta suami pada tahun kesebelas dan tahun-tahun berikutnya, jika bukan dari apa yang diungkapkan suami secara verbal ?
Saya kira laki-laki tadi pun sesungguhnya tak perlu mengungkapkan kepada sang isteri bahwa sepuluh tahun ia mampu bermain sandiwara dengan baik. Sebab, justru akan membuka peluang prasangka berikutnya pada isteri : sandiwara apa lagi yang akan dimainkan suami pada waktu-waktu mendatang ? Sebatas apa garansi kepercayaan bisa diberikan secara timbal balik atas apa yang diucapkan dengan yang dirasakan ? Menyakitkan, dan amat menyakitkan pernyataan itu.
Cinta bisa saja menimbulkan prasangka, justru karena ingin mengekalkan kecintaan itu. Sebagaimana, saling percaya harus tumbuh di atas benih-benih kesuburan cinta dan kasih sayang suami isteri secara timbal balik. Tak pelak, keikhlasan harus memancar secara tulus dari kedua belah pihak untuk menerima apa adanya pasangan hidup masing-masing. Karena keputusan untuk menikah dengan calon suami atau isteri pada saat awal kehidupan rumah tangga dulu, adalah pilihan bebas dari laki-laki dan perempuan, tanpa ada satu pihakpun yang bisa memaksakan terjadinya pernikahan itu sendiri.
Menikah adalah pilihan sadar yang dilindungi setiap hak laki-laki dan perempuan dalam Islam. Orang tua tak ada hak memaksa anak perempuan untuk menikah dengan seorang laki-laki, guru mengaji tak ada hak memaksa seseorang menikah dengan orang lainnya, bahkan kepala negara –khalifah- sekalipun, tak diberi tongkat pemaksa itu. Seorang laki-laki berhak menentukan pilihan pasangan hidup, sebagaimana seorang perempuan berhak menentukan pilihan pasangan hidupnya. Jika kemudian sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan saling menerima dan sepakat untuk melangsungkan pernikahan, maka atas alasan apakah satu pihak merasa terpaksa berada di samping pasangan hidupnya setelah resmi berumah tangga ?
Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar untuk menentukan keputusan berkaitan dengan pilihan pasangan hidup. Tetapi, begitu akad nikah terjadi, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri, apabila satu pihak mencoba senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pihak lainnya; dengan merasa benar dan bersih sendiri. Pilihan menjadi lebih terbatas : menerima dan mencintai pasangan hidupnya itu. Apabila belum juga muncul rasa cinta setelah terlaksananya pernikahan, alternatif yang paling mungkin adalah : belajar mencintai. Teruslah menjadi orang yang belajar mencintai.
Memang ada pilihan lain yang diajarkan shahabiyat Habibah binti Sahl, ketika ia mengajukan khulu’ di hadapan Nabi saw, “Saya tidak mencela agama dan akhlak suami saya, tetapi saya khawatir menjadi kufur jika hidup bersama dengan dia”. Sebuah ungkapan yang luar biasa lugas dan tandas. Ia seorang perempuan Madinah yang mengajarkan pilihan-pilihan hidup rasional dan manusiawi kepada setiap perempuan. Nabi saw pun memberikan jalan keluar yang amat manusiawi, dan inilah keindahan Islam. Namun, cerai bukan jalan pertama yang harus dikemukakan, sebab proses belajar menerima dan mencinta harus terjadi terlebih dahulu.
Untuk bisa mencintai dan merasakan dicintai, diperlukan pengenalan; sebagaimana kata orang bijak tak kenal maka tak sayang. Maka belajarlah mengenali pasangan hidup masing-masing. Apa yang menyenangkan dirinya, apa yang membuat sedih dan marah. Apa yang disukainya, dan apa yang membuatnya benci dan jijik. Apa tanda ia suka, apa tanda ia benci. Apa tanda ia gembira, apa tanda ia sedih. Apa indikasi ketenangannya, dan apa indikasi kegelisahannya. Kata-kata apa yang ingin didengar, dan kalimat apa yang tak ingin didengar.
Tetapi bukankah yang mengetahui detail-detail diri kita adalah kita sendiri ? Dan bukankah kita tidak pernah menyempatkan waktu untuk menulis segala sesuatu tentang diri kita sendiri ? Lalu darimana pasangan hidup mengetahui tentang diri kita, yang tak pernah ada kepustakaan di muka bumi ini menulis tentang kepribadian kita ? Kemudian kita membiarkan pasangan hidup kita membaca dan menebak sendiri segala sesuatu, hingga ia akan paham dan mengerti dengan sendirinya tanpa harus diberitahu. Ah, proses pengenalan yang kelewat panjang dan menghabiskan energi.
Mengapa kita tidak belajar terbuka saja kepada suami dan isteri kita, mengatakan sesuatu secara terbuka, apa adanya, tentang buah-buahan kesukaan, tentang warna baju kesayangan, tentang lagu yang disukai. Mengapa kita tidak belajar jujur saja, dari hari ke hari, merenda kata-kata untuk mengutarakan segala daftar selera. Mengucapkan pilihan-pilihan bahasa perasaan, dan mempertemukan dengan daftar selera serta perasaan pasangan kita. Satu persatu, mengeja hari, mendata kosa kata, memperbincangkan diri sendiri di depan pasangan kita. Dari apel, durian dan jeruk; sayur asem, cha kangkung, bayam rebus dan sambal terasi; lagu klasik, nasyid, atau campursari; baju lengan panjang, warna krem, daster lurik, dan piyama  batik.
Dari shampo, sabun mandi cair, sikat dan pasta gigi. Make up, pembersih kulit, lulur dan alas bedak. Tentang hobi renang dan mendaki gunung. Tentang tokoh-tokoh kenegaraan, artis kesayangan, penulis-penulis besar dunia. Soal jumlah anak, nama-nama anak, dan jenis kelamin yang dikehendaki. Bahkan afiliasi organisasi dan partai politik. Atau apapun lah yang ingin diceritakan, saling berbagi rasa, berbagi cerita, mentertawakan kelucuan-kelucuan di masa lalu. Sekaligus meretas cita-cita masa depan.
Ya, kita bisa dengan cepat belajar paham dari adanya keterbukaan, untuk kemudian merasakan cinta dan kasih sayang yang mengalir dari pasangan hidup kita setiap harinya. Mencoba merasakan apa-apa yang dia berikan sebagai sesuatu ungkapan cinta dan kerinduan. Belajar memahami ungkapan kemesraan yang tak begitu sempurna terucap lewat kata-kata dan tingkah laku pasangan kita. Menikmati keluguan demi keluguan orang yang tengah belajar mencinta dan dicinta. Menerima apa adanya ucapan  amat kaku ungkapan kasmaran, “Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku” yang diucapkan pun secara terbata-bata. Tidak mentertawakan proses pembelajaran yang tidak sempurna itu, bahkan merasakannya sebagai sebuah kesungguhan meraih kenikmatan hidup berumah tangga.
Adalah wajar orang yang tengah belajar mengalami kesulitan serta kegagapan. Menyetir mobil pertama kali penuh ketegangan, dan menegangkan orang lain. Belajar bahasa Inggris bermula dengan amat mengeja, sebagaimana belajar menulis huruf Arab yang tak ubahnya proses membatik kain. Demikian pun belajar bahasa cinta. Belajar bahasa romantisme. Belajar bahasa hidup suami isteri. Belajar bahasa perasaan. Belajar bahasa logika. Sangat mungkin diawali oleh kesulitan dan kegagapan, mencoba-coba dan kadang merasa gagal untuk mencapai keindahan pengungkapan.
Proses pun berlalu, waktu demi waktu. Belajar rupanya tak pernah usai, dari satu bab selera, berpindah ke bab kosa kata. Dari bab perasaan ke bab logika. Dari bab belanja ke bab latar budaya. Sampai kita merasakan kedalaman pengenalan, agar bisa merasakan kedalaman kecintaan. Sampai kita menemukan dasar sumur hati dan perasaan pasangan kita, agar bisa mengukur kebutuhan tangga untuk mencapainya. Luar biasa indahnya makhluk ciptaan Allah bernama manusia, pasangan hidup kita itu. Darinya kita belajar, dan tak pernah usai, berapapun jumlah hitungan usia kita.
Jangankan tiga tahun hidup berumah tangga, sampai wafat kita juga rasanya tak cukup proses pembelajaran itu. Oleh karenanya yang diperlukan adalah kesiapan belajar dan menerima hasil pembelajaran dalam hidup berumah tangga. Teruslah menjadi orang yang belajar mencinta dan dicinta. Jangan pernah berhenti.
Demikianlah kisah di atas saya ungkap kembali, untuk memberikan pengantar bahwa memasuki bulan-bulan di tahun pertama hidup berkeluarga tidaklah mudah. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pasangan yang memproses pernikahannya Islami, akan tetapi juga berlaku bagi mereka yang telah mengalami masa berpacaran dengan waktu yang cukup lama.
Jika  dalam masa berpacaran laki-laki dan perempuan cenderung menutupi kekurangan dan kelemahan diri, dengan menampilkan kebaikan dan keindahannya saja, maka begitu bersatu dalam keluarga hal itu tak mungkin terjadi lagi. Seluruh kelemahan akan tertampakkan, seluruh kekurangan akan tergambarkan, semua kebiasaan buruk akan terungkapkan. Suami dan isteri berada pada suatu posisi yang tidak berjarak, mereka dekat dan amat dekat, sehingga semua kebiasaan diri akan dimengerti oleh pasangannya.
Kebiasaan tidur mendengkur, kebiasaan makan dengan “mengecap” (mengeluarkan bunyi dari mulut waktu makan), kebiasaan menguap dengan lebar, kebiasaan bersendawa, kebiasaan membuang kotoran dan sampah di sembarang tempat, yang semula bisa dirahasiakan dari calon suami atau calon isteri, dalam berumah tangga hal itu tidak akan tersembunyikan.  Maka tampaklah anda apa adanya, polos, seperti kondisi sesungguhnya diri anda, di hadapan suami atau isteri anda.
Apabila kondisi yang ada ini tidak seperti yang diharapkan oleh pasangan, dan pasangannya tidak bisa memahami atau menerima kondisi tersebut, muncullah masalah demi masalah yang harus segera diselesaikan…..

MENJEMPUT KESETIAAN

Oleh : Cahyadi Takariawan

Engkau aktif dalam kegiatan dakwah ? Engkau telah bekerja melakukan berbagai upaya menebarkan kebaikan di daerah ? Jika ya, maka mungkin engkau pernah mendengar ucapan-ucapan seperti ini, entah dari siapa.
“Luar biasa aktivitas anda membesarkan dakwah di daerah. Sayang sekali, senior anda yang di pusat justru mengkhianati perjuangan anda. Mereka telah mengejar harta, tahta dan wanita, dan melupakan tujuan perjuangan. Lalu, untuk apa anda tetap berpayah-payah di daerah?”
“Sia-sia semua yang kalian kerjakan. Hasilnya dirampas oleh sebagian kecil elit di antara kalian. Apa kalian masih akan bertahan ?”
“Lihatlah apa yang terjadi pada kalian. Setiap hari bertabur berita jelek di media. Itu menandakan aktivitas dakwah kalian sudah jauh menyimpang, karena kerakusan para pemimpin kalian. Mereka telah gila dunia dan melupakan akhirat”.
Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mereka yang tidak mengerti makna ucapannya sendiri. Seakan-akan semua yang diucapkannya adalah kebenaran. Seakan-akan yang disampaikan adalah data dan fakta yang telah teruji kebenarannya, lalu semua yang mendengarkan diharapkan segera beriman. Seakan-akan semua yang mereka ungkapkan adalah dalil pembenaran untuk meninggalkan gelanggang perjuangan.
Alkisah, seorang kader dakwah merasa tengah mengalami titik kejenuhan. Banyak beban dakwah dan beban kehidupan harus dihadapi sendiri. Ia mulai merenung, berpikir, dan akhirnya merasa semakin lemah. Aktivitas dakwah yang semula menumpuk setiap hari, perlahan mulai dikurangi. Dikumpulkannya “kata orang” tentang pemimpinnya. Dia belanja isu tentang kehidupan para pimpinan dakwah. Cukup banyak sudah isu dikumpulkan, semua semakin melemahkan semangat dakwahnya. Ia mulai menghitung ulang keterlibatannya dalam aktivitas dakwah, dan mempertimbangkan langkah mundur ke belakang.
Di hadapanku ia curahkan semua isi hatinya. Sesak, gumpalan beban menghimpit dada dan hatinya. Lelah, penat, jenuh, kecewa, sedih, bercampur aduk…. Air matanya tumpah ruah saat bercerita tentang kepedihan hatinya. Aku merasakan bendungan perasaan itu ambrol, air bah kekecewaan mengalir sangat deras tidak terbendung. Dahsyat, luar biasa….
Aku segera menceritakan makna ikhlas bagi kader yang berada di lapangan. Aku hanya kader lapangan, waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku tidak bisa menjelaskan dengan rangkaian teori yang “tinggi-tinggi”. Ilmuku adalah ilmu lapangan, ilmu aplikasi, berisi pengalaman dan akumulasi rekaman kejadian setiap hari. Teoriku adalah teori kehidupan, yang aku dapatkan langsung dari medan perjuangan. Merekam detail hikmah yang muncul dari perjalanan di sepanjang wilayah dakwah.
Saudaraku, aku ajak engkau melihat benih-benih yang kita semai di ladang-ladang dakwah di berbagai wilayah. Subhanallah, benih itu tumbuh subur menghijau, membuat takjub siapapun yang melihat dan merasakan detak pertumbuhannya. Kita sirami benih itu, dan kita rawat dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Perasaan lelah dan jenuh menghadapi berbagai kendala, segera hilang sirna dengan sempurna, saat menyaksikan hasil semaian di ladang-ladang dakwah kita.
Rasa jenuh dan lelah bisa hinggap pada hati dan pikiran siapa saja. Pekerjaan rutin sehari-hari membuat kita mudah mengalami kejenuhan, apalagi jika yang dihadapi hanya koran, berita televisi, internet dan kata orang. Dunia disempitkan oleh media, bukan diluaskannya. Lalu apa yang menyemangati kita ? Mari berjalan menikmati hijaunya lahan-lahan semaian dakwah yang telah kita rawat lebih dari dua puluh tahun lamanya. Berjalan, bertemu kader-kader dakwah di setiap daerah, menyapa dan membersamai aktivitas mereka. Subhanallah, lihat wajah-wajah cerah yang tampak di setiap pertemuan.
Di sebuah mushalla kecil di kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, aku merasakan optimisme dan membuncahnya harapan. Di sebuah ruang sederhana di Gendeng, Baciro, Kota Jogja, aku menjadi saksi kesetiaan tanpa jeda. Di sebuah gedung pertemuan di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, aku merasakan detak jantung penuh cinta. Di sebuah ruangan di Baubau, Sulawesi Tenggara, aku merasakan getar kesadaran akan kemenangan. Di sepanjang bumi Sumatera aku melihat dan merasakan pancaran semangat yang membara. Di berbagai belahan Kalimantan aku mendapatkan suasana gelegak kehangatan tak terkalahkan. Di Nusa Tenggara Barat, yang muncul hanyalah optimisme menghadapi medan perjuangan. Di Maluku, kepal tangan yang terangkat kuat menandakan tak akan menyerah menghadapi kendala dakwah. Di Papua, minoritas bukanlah alasan untuk merasa lemah dan kalah.
Lalu apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Berjalanlah, dan semua wilayah ini adalah bumi dakwah, tempat kita menyemai cinta. Bergeraklah, dan semua daerah ini adalah bumi perjuangan, tempat kita menanamkan harapan. Dimanapun engkau berjalan, dimanapun engkau bergerak, akan merasakan kesegaran udara yang sangat jernih. Tak ada polusi di sana, polusi itu justru ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu menggambarkan betapa besar sesungguhnya ukuran cinta dan harapan yang ada pada dada para kader di sepanjang wilayah dakwah. Tulisan yang saya khawatirkan justru menyempitkan makna kesetiaan dan keikhlasan setiap titik perjuangan kader di seluruh bumi Allah.
Maka bergeraklah, berjalanlah, beraktivitaslah bersama kafilah dakwah. Rasakan sendiri, lihat sendiri, dengarkan sendiri kata-kata mutiara yang muncul dari lapangan. Diam telah membuatmu merasakan kejenuhan. Tidak bergerak menyebabkan pikiranmu dipenuhi pesimisme dan kegalauan. Tidak berkegiatan membuat hatimu selalu dalam kebimbangan dan keputusasaan. Bergeraklah di lapangan dakwah, engkau akan menemukan sangat banyak harapan dan untaian mutiara kesabaran.
Jadi, apa yang melemahkanmu, saudaraku ? Lihat sendiri, dengan mata kepalamu sendiri, bagaimana wajah-wajah penuh kecintaan akan selalu engkau dapatkan. Kemanapun engkau pergi, yang engkau temui adalah benih-benih tersemai dengan pupuk keimanan dan keutamaan. Kemanapun engkau melangkah, yang engkau dapatkan adalah buah-buah yang terawat oleh cinta dan kasih sayang para pembina. Para pembina telah mencurahkan cinta, telah menorehkan kasih, telah memahatkan sayang di hati sanubari semua benih dakwah di sepanjang daerah.
Bisakah engkau menanamkan bibit-bibit kebencian, kemarahan, dendam dan kesumat, lalu menyuburkannya hanya dengan pupuk isu serta gosip sepanjang masa? Bisakah engkau menciptakan lahan-lahan yang akan tersuburkan dengan fitnah, caci maki dan sumpah serapah ? Siapa yang akan bisa memberikan cinta, jika yang engkau keluarkan untuk mereka adalah dendam membara ? Siapa yang akan memberikan kesetiaan, jika yang engkau tanam adalah benih-benih permusuhan ? Siapa yang akan memberikan ketulusan, jika yang engkau taburkan adalah kebencian ?
Jadi, apa yang menggelisahkanmu saudaraku ? Seorang kader dakwah di Paniai, Papua, menitipkan pesan penting saat aku kesana. “Yang sangat kami perlukan adalah kehadiran para Pembina. Kami sangat optimis dengan medan dakwah di sini”. Subhanallah, seperti terbawa mimpi. Paniai bahkan tidak engkau kenal wilayahnya ada dimana. Engkau tidak mengetahui bahwa di tempat yang sangat jauh dari keramaian kota itu ada banyak harapan untuk kebaikan. Benar kan, di sana tidak ada polusi? Karena polusi itu ada di sini, di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu merangkum kuatnya kecintaan dan tulusnya harapan dari kader-kader di daerah.
Di sebuah ruang sederhana, di Wamena, Papua, aku mendapatkan dan merasakan gelora semangat yang sedemikian membahana. Demikian pula di Merauke. Sekelompok kader telah bekerja melakukan apa yang mereka bisa, dan ternyata lahan-lahan kering itu sedemikian suburnya. Tak dinyana, semula kita membayangkan akan kesulitan menanam benih di lahan yang teramat kering kehitaman. Namun taburan benih tak ada yang sia-sia. Semangat demikian tinggi mengharap kehadiran kita untuk menyaksikan pertumbuhan, karena benih telah dirawat dan dipelihara dengan sepenuh jiwa.
Di sebuah pojok ruang di Manokwari, Irian Jaya Barat, tak kalah semangat menjalani aktivitas perjuangan. Beberapa gelintir generasi dakwah, telah menanamkan benih-benih di berbagai wilayah. Siapa menyangka ternyata kecintaan dan kesetiaan yang tulus dimiliki oleh mereka yang tinggal jauh di ujung Indonesia. Genggaman tangan sangat kuat dan hangat masih aku rasakan, seakan tak mau melepaskan. Bahkan mereka menghantarkan aku hingga di depan tangga pesawat terbang. Kisah-kisah heroik aku dapatkan selama menemani mereka menyemai benih di bumi Irian Jaya Barat. Insyaallah pahala berlipat telah Allah limpahkan untuk mereka.
Jadi, hal apa lagi yang meresahkanmu, saudaraku ? Pernahkah engkau mendengar Polewali, Majene, Mamuju dan Mamasa ? Mungkin engkau belum pernah mencarinya di dalam peta. Itu nama-nama kabupaten yang ada di Sulawesi Barat, propinsi yang terbentuk setelah dimekarkan dari Sulawesi Selatan. Aku telah melawat berhari-hari lamanya, menemukan bongkahan semangat yang sangat potensial. Sangat banyak luapan energi yang siap untuk mencerahkan wilayahnya. Mereka menjemput kesetiaan dengan melakukan sangat banyak kegiatan, di tengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi.
Aku juga mengunjungi dan menyapa kader-kader di Mataram, Lombok, Sumbawa, Dompu dan Bima. Luar biasa semangat kader-kader dakwah di sana. Di sudut-sudut ruangan, aku menemukan kenyataan cinta itu hidup segar, bersemi indah dan terawat dengan cermat. Tangan-tangan halus para pembina telah membentuk karakter yang kuat pada para aktivis dakwah, sehingga mereka terus menerus bekerja tanpa mengenal lelah, padahal tidak ada yang memberi upah. Hanya Allah yang menjadi tumpuan harapan kerja mereka. Luar biasa.
Di sepanjang ruas jalan yang aku lalui di Balikpapan, Samarinda, Kutai Timur, Kutai Kertanegara, Penajam, Berau, yang terhirup adalah udara jernih, bukti kemurnian tujuan perjuangan. Demikian pula saat aku menapaki Banda Aceh, Pidie, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh, yang terasakan hanyalah semangat berkontribusi tanpa henti. Para kader telah bertahan di medan perjuangan dengan segenap kecintaan dan harapan. Tak ada polusi di sana, karena polusi itu adanya di sini. Di tulisan ini. Tulisan yang tak mampu mengkabarkan dengan tepat betapa keutuhan dan ketulusan langkah perjuangan kader-kader dakwah di sepanjang wilayah. Sepanjang mata memandang, yang tampak adalah dinamika berkegiatan, berlomba melakukan hal terbaik yang bisa mereka lakukan, berlomba mencetak prestasi dan karya besar bagi bangsa dan negara.
Maka, apa yang meragukanmu, saudaraku ? Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, kata-kata itu ? Aku bukan seseorang yang berwenang menjelaskan. Maka aku tak mau mendengarkannya, karena sama sekali tidak ada artinya bagiku. Aku hanyalah seorang kader lapangan. Waktuku habis di jalan, bukan di kantoran. Aku merasakan gairah pertumbuhan, aku mendengarkan degup jantung penuh kecintaan, aku mencium harum aroma kemenangan, aku melihat gurat keteguhan, aku menikmati cita rasa kesetiaan. Aku menjadi saksi betapa suburnya cinta dan kesetiaan kader di sepanjang jalan dakwah, di sepanjang bumi Allah.
Waktu, tenaga, pikiran, harta benda bahkan jiwa telah mereka sumbangkan dengan sepenuh kesadaran. Tidak ada yang terbayang dalam benak mereka, kecuali upaya memberikan yang terbaik bagi perjuangan. Berbagai kekurangan dan kelemahan mereka miliki, namun tidak menyurutkan semangat dan memadamkan gairah yang menggelora di dada. Mereka yakin akan janji-janji Ketuhanan, bahwa kemenangan itu dekat waktunya. Mereka menjemput kesetiaan dengan selalu bergerak, berbuat, beraktivitas di lapangan. Bukan duduk diam menunggu sesuatu, atau melamunkan sesuatu.
Suara-suara itu, tuduhan-tuduhan itu, caci maki itu, apakah masih ada artinya jika engkau telah menghirup nafas dari udara yang sangat jernih di wilayah dakwah ? Apakah masih membuatmu gelisah jika tubuhmu telah basah oleh keringat dari perjalanan panjang yang sangat menyenangkan di berbagai daerah ? Apakah masih membuatmu ragu jika matamu telah memandang kehijauan lahan-lahan yang kita semai di sepanjang bumi Allah ? Apakah masih membuatmu gundah jika hatimu telah bertaut dengan aktivitas kader-kader dakwah yang menjemput kesetiaan dengan berjaga dan bertahan di berbagai medan perjuangan ?
Sungguh, aku menjadi saksi kesetiaan mereka di sepanjang jalan dakwah. Aku menjadi saksi hasrat dan kecintaan mereka yang sedemikian besar kepada perjuangan dakwah. Aku juga berharap, kader-kader di daerah mengerti betapa besar cinta kami kepada lahan-lahan yang tumbuh bersemi. Aku selalu memohon perlindungan dan kekuatan kepada Allah, semoga Allah selalu melindungi dan menjaga dakwah dan para qiyadah. Aku selalu memohon kepada Allah, agar semangat dan gairah dakwah tidak pernah melemah. Ya Allah, beritahukan kepada kader-kader yang setia berjaga di garis kesadaran dan harapan, betapa besar cinta kami kepada mereka. Ya Allah sampaikan kepada para kader yang telah bekerja sepenuh jiwa, betapa hati kami selalu tertambat kepada mereka.
Beritahukan ya Allah, cinta kami sangat tulus untuk mereka. Selamanya.
Selamanya !
Pancoran Barat, 3 Mei 2011

Jumat, 22 April 2011

KITA BEKERJA UNTUK SIAPA ?

Oleh : Cahyadi Takariawan

Tidak pernah bosan saya mengajak anda semua untuk selalu berbuat kebaikan, semaksimal kemampuan yang bisa kita lakukan. Ajakan ini sesungguhnya untuk menyemangati diri sendiri, dan mengingatkan diri ini, agar selalu melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Sejarah hidup yang teramat pendek jangan disia-siakan dengan aktivitas yang tidak memberi kontribusi bagi kebaikan. Namun, ada catatan tebal yang harus selalu kita ingat : kita bekerja dan berbuat baik, untuk siapakah ?
Suatu saat anda menolong tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Dengan penuh perasaan tanggung jawab anda membantunya, anda memberikan pertolongan yang sangat diperlukannya. Pada kesempatan yang lain, tetangga tersebut memerlukan pertolongan lagi. Bergegas anda memberikan bantuan. Berkali-kali anda mendatangi rumahnya, dan memberikan bantuan yang sangat bermanfaat baginya. Lagi dan lagi, tidak bisa dihitung berapa banyak anda menolongnya. Tidak bisa diingat lagi berapa kali anda berbuat baik kepadanya.
Namun bukannya ucapan terimakasih yang anda dapatkan. Tetangga tersebut justru menyebarkan fitnah kemana-mana, justru menjelek-jelekkan anda di hadapan warga, bahwa anda terlalu pelit untuk menolong. Anda dianggap tidak ikhlas membantu, dan sangat individualis. Anda dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi tetangga. Ramailah gosip di antara tetangga, menyebar berita negatif tentang anda. Akhirnya anda menjadi selebritis di lingkungan tempat tinggal, karena banyak dibicarakan orang.
Sedih bukan main rasa hati anda. Rasanya sudah tidak kurang anda membantu tetangga tersebut dalam berbagai kesulitan hidupnya. Lalu mana imbalan baiknya ? Mana ucapan terima kasihnya ? Mana apresiasi positifnya ? Mengapa justru ia melempar fitnah dan tuduhan kemana-mana ? Saat mengalami kejadian seperti itu, apa yang akan anda lakukan ?
“Kalau begitu, selamanya saya tidak akan membantu dia lagi. Tidak ada gunanya saya membantu orang yang tidak mengetahui balas budi”.
“Menyesal sekali saya membantunya selama ini. Ternyata dia orang yang tidak layak dikasihani, justru sekarang dia memusuhi”.
“Anda saja saya tidak membantunya selama ini, itu akan lebih baik bagi saya. Karena sudah banyak membantu, masih juga difitnah”.
Sayang sekali jika seperti itu ungkapan anda. Sungguh, anda telah kalah di titik itu. Jika kita bekerja dan berbuat baik dengan penuh harapan akan mendapatkan apresiasi positif dari manusia, bisa dipastikan kita akan mengalami kekecewaan yang teramat fatal. Karena bisa jadi, pekerjaan dan perbuatan baik tersebut tidak mendapatkan apresiasi seperti yang kita harapkan. Bahkan ada kalanya, mereka yang mendapatkan kebaikan dari kita, justru menjadi orang yang membenci dan memusuhi kita. Orang yang paling banyak kita bantu, bisa jadi justru paling memusuhi dan membenci kita.
Baiklah, kita tidak perlu merinci sebab-sebabnya, mengapa apresiasi yang kita harapkan ternyata tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Tidak perlu kita korek sebab-sebabnya. Namun kita lebih fokus kepada pertanyaan yang lebih substansial, untuk siapakah kita berbuat kebaikan ? Untuk siapakah kita bekerja ? Jika mengharap balasan kebaikan dari manusia, ingatlah manusia itu sangat lemah dan penuh keterbatasan. Tidak mungkin akan bisa memberikan apresiasi yang memadai sesuai dengan kadar kebaikan yang kita berikan.
Saya mengingatkan diri sendiri dan anda semuanya, mari bekerja untuk Sang Pencipta Manusia. Tuhannya manusia. Pemilik dan Penguasa alam semesta. Dialah Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa. Dialah Dzat Yang Maha Sempurna. Yang bisa memberikan apresiasi secara tepat dan adil. Yang bisa memberikan balasan bahkan secara berlipat, dan tanpa batas. Yang tidak pernah memiliki kekurangan. Yang tidak memiliki keterbatasan. Dia Maha Membalas segala perbuatan. Sekecil apapun kebaikan, ataupun keburukan. Dia sangat teliti dan jeli.
Mungkin anda adalah tokoh masyarakat, yang telah banyak berbuat kebaikan untuk membangun masyarakat di desa anda. Puluhan tahun anda bekerja untuk memajukan masyarakat, berjuang untuk membangun ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Anda kerjakan siang dan malam, tanpa mengenal lelah. Anda mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta benda dan semua fasilitas yang anda miliki demi kebaikan masyarakat desa. Puluhan tahun anda berada di tengah mereka mengajak melakukan kebaikan dan hasilnya sedikit demi sedikit mulai terasakan. Perlahan namun pasti, kondisi wilayah anda semakin membaik, semakin maju, semakin kondusif.
Namun jangan anda kecewa, jika anda maju dalam pemilihan kepala desa, ternyata bukan anda pemenangnya. Orang lain telah terpilih menjadi pemenang, dan orangnya biasa saja. Anda merasa sangat heran, bagaimana ada orang yang tidak ikut dalam perjuangan puluhan tahun di desa itu, namun justru menjadi pemenang dalam pemilihan kepala desa ? Anda merasa telah menjadi tokoh yang sangat dikenal masyarakat desa melalui perjuangan panjang yang anda lakukan, namun tidak menghasilkan suara signifikan dalam pemilihan.
Yang bisa lebih menyakitkan bagi anda, ternyata ada sebagian warga desa yang melakukan black campaigne terhadap anda. Menjelek-jelekkan anda, menjatuhkan nama anda, mengajak masyarakat membenci dan akhirnya tidak memilih anda. Sedih sekali rasanya, anda merasa telah menghabiskan puluhan tahun yang panjang untuk perjuangan, namun orang lain telah menikmati hasilnya. Anda merasa dicampakkan dan dibuang secara hina ke tong sampah. Di masa tua, ternyata anda tidak mendapatkan posisi yang mapan.
Dengan marah dan penuh emosi, anda berbicara di hadapan masyarakat desa. “Jika tidak ada saya, desa ini masih tertinggal, kumuh dan kotor. Sayalah yang telah berjuang tiga puluh tahun membangun desa ini. Dulu tidak ada orang yang mau berjuang, semua saya lakukan sendirian. Ternyata kalian tidak menghargai perjuangan saya. Sia-sia semua yang sudah saya lakukan untuk kalian”.
Sayang sekali jika anda menyesali semua tumpukan kebaikan yang telah anda usahakan puluhan tahun. Tetas keringat dan air mata telah anda relakan mewarnai detik-detik perjuangan yang sangat panjang. Melelahkan, dan semua telah Allah berikan catatan balasan berupa pahala kebaikan atas segala detail usaha serta jerih payah anda. Keringat anda, rasa lelah anda, air mata anda, bermalam-malamnya anda, pengorbanan anda, semua telah Allah tetapkan balasan kebaikan. Telah Allah tuliskan pahala atas segala amal anda. Jangan anda merusak dan menghapus pahala kebaikan itu dengan rasa penyesalan dan rasa kesia-siaan. Jangan, karena itu potensial merusakkan nilai amal kebaikan anda.
Mungkin anda adalah tokoh dalam sebuah organisasi dakwah. Sejak awal mula berdirinya organisasi, anda termasuk perintisnya. Anda mengetahui segala suka duka merintis dan membesarkan organisasi dakwah, semua penuh perjuangan yang melelahkan. Berbagai tantangan dan hambatan terus menghadang sejak awal pendirian, dan anda termasuk tokoh yang gigih berjuang menghidupi organisasi. Sekian banyak kekurangan dan kelemahan anda hadapi bersama rekan-rekan seperjuangan, di masa-masa sulit anda mampu bertahan dan tegar dengan banyaknya ujian berupa kesulitan.
Anda relakan meninggalkan anak isteri, berlama-lama melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Anda relakan meninggalkan pekerjaan, demi perjuangan menyebarkan usaha dakwah ke berbagai tempat. Sampai ke pelosok, sampai ke pedalaman, sampai daerah terpencil. Menyeberang sungai, mendaki bukit, menaiki sepeda motor tua, kadang berjalan kaki puluhan kilometer. Menyeberang laut dengan menaiki kapal kelas super ekonomi, tanpa membawa bekal yang berarti. Sementara keluarga yang di rumah juga tidak dicukupi dengan keperluan hidup sehari hari. Tawakal kepada Allah, dan Allah Maha Mencukupi.
Kini organisasi dakwah anda sudah membesar. Pengurus dan kader sudah bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Tidak pernah terbayangkan oleh anda, bahwa organisasi dakwah yang anda rintis tigapuluh tahun yang lalu itu akhirnya tumbuh berkembang, membesar, menjadi sebuah kekuatan yang sangat membanggakan. Terasa lega, bahwa hasil perjuangan panjang itu mulai kelihatan buahnya. Tiga puluh tahun yang lalu, organisasi yang anda rintis itu tidak dikenal siapa-siapa, tidak dipedulikan siapa-siapa, bahkan banyak diejek dan ditertawakan, namun dengan sabar anda tetap membersamainya. Kini organisasi itu telah menjelma menjadi idola, banyak dielu-elukan dan diakui kebesarannya.
Namun, sesuatu terasa mengganjal bagi anda. Perjuangan yang telah anda jalani puluhan tahun itu ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari petinggi organisasi. Beberapa orang generasi awal yang merintis organisasi bersama anda, kini telah menempati posisi penting. Mereka memiliki kehidupan yang sangat layak, berbeda dengan anda. Seorang teman anda, sesama generasi perintis organisasi, memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan fasilitas kehidupan yang sangat mencukupi. Anak-anaknya sekolah dan kuliah di luar negeri. Isterinya tampak mengenakan perhiasan warna warni. Tersulutlah rasa iri, mengapa jauh berbeda seperti ini ?
Anda hanyalah seorang tua yang berjalan kaki. Rumah anda sangat sederhana di pinggiran kota. Sepeda motor anda seusia perjuangan yang telah anda jalani. Bahkan anda kesulitan membiayai sekolah dan kuliah anak-anak anda, jangankan ke luar negeri. Sekolah di kampung sendiri saja demikian berat membiayai. Hidup anda hingga kini masih penuh dinamika perjuangan, sementara anda lihat generasi seperjuangan anda telah berada pada posisi kemapanan.
Marah sekali rasa hati anda. Geram, anda menggoreskan kata-kata, menuliskan kegelisahan. “Organisasi dakwah ini besar karena perjuangan yang saya lakukan. Jika tidak saya hidupi organisasi ini tiga puluh tahun yang lalu, tidak akan menjadi sebesar ini. Saya telah habiskan semua yang saya punya, telah saya sumbangkan apa yang melekat pada diri saya dan isteri saya. Tanah saya jual, perhiasan istri kami relakan terjual, semua demi kelangsungan hidup organisasi. Pekerjaan tetap di perusahaan saya tinggal, agar saya bisa berkhidmat untuk organisasi, padahal dulu saya mendapatkan gaji besar dari perusahaan. Semua saya relakan demi membesarkan organisasi ini”.
“Namun setelah organisasi ini membesar, kalian campakkan saya begitu saja. Rasanya seperti menjadi orang terbuang, menjadi orang yang tidak memiliki arti sama sekali. Kalian telah menjadi orang yang lupa diri, kalian hidup bermewah sementara saya hidup seperti sampah. Menyesal sekali saya telah ikut membesarkan organisasi ini. Sia-sia semua perjuangan yang saya lakukan, jika akhirnya hanya seperti ini. Brengsek semua kalian ini, tidak bisa menghargai jasa para pendiri”.
Marah, gemas, geram, dendam. Bercampur baur antara kecintaan dengan kebencian. Anda melontarkan sumpah serapah, mengungkit-ungkit jasa dan kebaikan yang sudah anda lakukan tiga puluh tahun. Anda menyesali kebaikan yang sudah anda lakukan, berupa perjuangan panjang, berupa berlelah-lelah, berjalan siang dan malam ke berbagai wilayah, berjaga malam untuk merancang dan mengaplikasikan strategi. Anda merasa tidak dihargai dan tidak mendapatkan apresiasi yang memadai.
Anda ungkit tanah yang dulu anda jual, sepeda motor yang digadaikan, perhiasan isteri yang disumbangkan, perabotan rumah yang digunakan melengkapi perkantoran. Anda ungkap kembali waktu yang telah anda curahkan, tenaga yang telah anda baktikan, pikiran yang telah anda sumbangkan. Tigapuluh tahun perjuangan bukanlah waktu yang sedikit, jelas itu masa yang panjang. Anda ungkit itu semua, demi mendapatkan pengakuan dan apresiasi. Anda merasa telah terzhalimi.
Tidak, anda tidak boleh seperti itu. Anda tidak layak mengungkit dan menyesali amal kebaikan yang telah Allah tetapkan pahala berlipatnya. Anda tidak boleh merasa sia-sia terhadap segala langkah perjuangan anda puluhan tahun membesarkan organisasi dakwah, dengan segala kesulitan dan hambatan, dengan segala keringat, darah dan air mata. Anda tidak boleh meratapi sejarah yang telah anda torehkan dalam membesarkan organisasi. Jangan lakukan, karena itu semua potensial merusakkan amal kebaikan anda. Jangan anda sesali, karena itu berpotensi merontokkan pahala kebaikan yang telah Allah tuliskan.
Anda boleh memberikan masukan dan kritik, tentu saja, dalam rangka tausiyah dan menguatkan organisasi saat ini. Namun tidak dengan kebencian, tidak dengan dendam, tidak dengan kemarahan, tidak dengan kedengkian. Apalagi hanya terpicu oleh perbedaan materi, ada sebagian generasi perintis organisasi yang berada dalam kondisi kemapanan, dan sementara anda termasuk yang  masih sangat jauh dari kesejahteraan. Jadi sebenarnya kemarahan anda karena apa ?
Semua langkah kebaikan, semua tetes keringat, semua air mata, semua titik darah yang pernah keluar dari diri anda, telah menjadi amal kebaikan yang berlipat pahalanya. Telah membuahkan  berkah bagi diri, keluarga dan organisasi anda. Tidak ada kebaikan yang sia-sia, semua pasti ada hasilnya. Tidak mesti hasil itu berupa balasan langsung di dunia, namun bisa kita nikmati nanti di surga. Tidak mesti balasan kebaikan itu datang dari organisasi yang kita tumbuhkan, namun bisa jadi dari arah lain yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Allah Maha Adil dan Bijaksana.
Berharaplah kepada Allah saja, sebab Dia yang Maha Kaya. Berharaplah kepada Allah, sebab Dia Yang Maha memberi balasan. Pasti anda tidak akan kecewa. Allah tidak akan menyia-nyiakan semua jerih payah anda. Allah tidak akan melupakan semua usaha dan perjuangan anda. Allah tidak akan melalaikan balasan bagi setiap titik kebaikan, walau sebesar dzarrah. Tidak ada manusia yang bisa melakukan itu semua dengan sempurna, karena manusia sangat banyak kelemahan dan keterbatasannya.
Menyakitkan rasanya ? Dakwah ternyata melelahkan, dakwah ternyata menyakitkan, benarkah ? Coba kita simak kembali tausiyah ustadz Rahmat Abdullah, Allah yarham.
“Memang seperti itulah dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu.. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai..
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret.. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.. Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah….
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada Abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..”
Demikian untaian mutiara yang sangat dalam dari Allah Yarham, ustadz Rahmat Abdullah. Sekarang saatnya introspeksi, masuk ke dalam relung jiwa kita sendiri. Menata, mengaca, mengoreksi hati. Menjawab dengan jujur, sebenarnya kita bekerja untuk siapa ? Jika untuk manusia, bersiaplah untuk merana. Jika untuk Allah semata, bersiaplah mendapatkan kebaikan berlipat dariNya. Di dunia, atau nanti di surgaNya.

Kamis, 21 April 2011

Temu Jiwa Sentuh Fisik

Shalatnya panjang dan khusuk. Keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Hasrat dan rindu merangkak bersama malam yang kian kelam. Usai shalat perempuan itu akhirnya rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas. Lama sudah suaminya pergi. Untuk jihad, memang. Tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun jihad, perpisahan selalu membakar jiwa dengan rindu. Maka ia pun rebah dengan doa-doa; “Ya Allah, yang memperjalankan unta-unta, menurunkan kitab-kitab, memberi para pemohon, aku memohon pada-Mu agar Engkau mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar dengan itu Engkau lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah, tetapkanlah hukum-Mu di antara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami”.
Untungnya malam itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan memang sedang menyamar di tengah pemukiman warga. Tujuannya, ya, itu tadi; mencari tahu opini warga soal pengiriman mujahidin ke medan jihad, khususnya istri-istri mereka. Dan suara perempuanlah itulah yang ia dengar.
Ini tabiat yang membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Disini rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.
Cinta jiwa bukan sekedar kecenderungan spritiual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta jiwa mengandung kadar sahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik berasal. Mereka menyebutnya passionate love. Tanpa membawa semua penyakit. Sebagaimana hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.
Ini mengapa kita diperintahkan mengasihi para pecinta; supaya mereka terhindar dari cinta yang seharusnya menjadi energi, lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang tak pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih. Sebab, kata Ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan dan jiwa raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan memperkuat hubungan cinta kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah gelora hasrat terpenuhi,
Makna itu dapat dipahami Abdul Malik bin Marwan. Maka ia pun bertanya, “Berapa lama wanita bisa bertahan sabar?” “Enam bulan” jawab mereka. Kisah itu sebenarnya mengikuti pada temuan yang sama dimasa Umar bin Khattab. Dan di kedua kisah itu, kedua perempuan itu sama-sama melantunkan syair rindu dan hasrat, dan Abdul Malik bin Marwan mendengar bait ini;
air mata mengalir bersama larut malam
sedih mengiris hati dan merampas tidur
bergulat aku lawan malam
terawangi bintang hasrat rindu mendera-dera
melukai jiwa
Memang hanya puisi tempat jiwanya berlari. Melepas hasrat yang tak mau dilepas. Sebab rindu tetap saja rindu. Puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya. Sebab memang begitulah hukumnya; hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat jiwa
sumber: anismatta.com

Selasa, 19 April 2011

Gajah, Sistem dan PKS

Jika Anda menjadi bagian dari luar sistem serta tujuannya berbeda dengan sistem, mari bekerjasama dengan hal yang disepakati dan bertoleransi dengan hal yang berbeda.
---
Oleh: Ferdian*
(Mahasiswa Pasca Sarjana TMI ITB 2010 dan Penasehat LSM ICON Bandung)
...
Suatu ketika seorang buta datang ke kebun binatang. Dia mau tau binatang yang bernama gajah. Sampai di kebun binatang dia sampaikan keinginannya kepada petugas kalau dia mau tau tentang gajah.

Petugas tsb mengantarkan ke kandang gajah. Kebetulan gajahnya sedang istirahat, duduk-duduk. Didekatkannya orang buta tersebut dan disuruh pegang oleh petugas.

Saat itu dia memegang belalai gajah. Bentuknya panjang, bulat, kulitnya kasar. Simpulannya orang buta, Gajah adalah hewan yang bentuknya panjang, bulat dan kulitnya kasar.

Sampai dirumah, dia ceritakan kesemua anggota keluarganya, bahwa Gajah adalah hewan yang bentuknya panjang, bulat dan kulitnya kasar.

Dikasih tau oleh anggota keluarga yang lain bahwa itu bukan gajah tetapi belalai gajah...tetapi tetap ngotot karena dia merasakan sensasinya memegang langsung.

--
Kisah di atas selalu saya ungkapkan mengawali kuliah tentang sistem. Baik kuliah dasar sistem, pengembangan sistem ataupun sistem yang sudah spesifik (mis.ERP). Dalam buku System Thinking - Gharajedaghi 2006, ada istilah Holistic Thinking. Holistic Thinking merupakan cara pikir secara menyeluruh dengan mengindahkan bagian-bagian dari objek pemikiran secara integral.

Holistic Thinking sering kali digunakan untuk menganalisis suatu sistem. Sistem merupakan entitas yang terdiri dari paling sedikit dua elemen dan memiliki relasi yang menghubungkan antar elemennya (Ackoff: 2006) atau a regularly interacting or interdependent group of items forming a unified whole (Daellenbach & McNickle: 2005).

Dalam buku Fifth Discpline, Peter Senge lebih suka dengan istilah System Thinking. System Thinking menjelaskan bagaimana memahami cara kerja sistem secara keseluruhan, karena tanpa orientasi sistemik maka tidak ada motivasi untuk melihat bagaimana disiplin lainnya saling berhubungan.

Untuk mengenal suatu sistem, maka perlu untuk mengenal 5 prinsip atau karakter sistem:

1. Openness: Sistem hanya dapat dimengerti oleh lingkup/cakupan sistem tersebut saja.
2. Purposefulness: Sistem ada karena dan pasti punya tujuan yang ingin dicapai.
3. Multidimensionality: Memandang dan mendefinisikan sistem tidak bisa hanya dari satu aspek saja. Sistem bisa dilihat dari beragam aspek. Aspek bisa dikatakan sudut pandang.
4. Counterintuitiveness: Sistem dapat mengeluarkan output yang tidak diharapkan
5. Emergent properties: Karakter suatu sistem terbentuk dari kolaborasi bagian-bagian dalam sistem.

--
Kisah orang buta dan gajah merupakan kolaborasi holislistik thinking atau system thinking dengan pengertian fundamental sistem. Orang buta mengatakan bahwa gajah adalah panjang, bulat dan kasar karena cara pandang dia yang tidak holistik atau sistemik. Dia hanya memanfaatkan informasi yg dia miliki tanpa bertanya atau membandingkan dengan informasi lainnya (misal bertanya kepada petugas kebun binatang saat di kandang gajah, dll).

Akibatnya jelas sangat fatal.

--
Belakangan ini isu tentang PKS persis dikondisikan sebagaimana orang buta memandang gajah. Diperlihatkan dari sudut pandang sesuai kepentingan.

PKS dalam bulan ini saja sudah disudutkan dengan berita dari mantan kadernya (YS) dan yang terakhir mengenai pornografi.

Saya melihat ada 3 subjek pandang untuk 2 kasus ini:

1. Subjek bebas nilai
Ucapan subjeknya: "Ah masa iya PKS kayak gitu?"
Tindakan subjeknya: Mencari dan membandingkan berita dengan tag PKS dari sisi pro dan kontra.

2. Subjek pro PKS
Ucapan subjeknya: "Kita tunggu saja klarifikasi dari internal partai, tetaplah berhudznuzon" atau istilahnya tabayun.
Tindakan subjeknya: Mencari tau ke murobi, membuat tulisan bijak dan tetap berhudznuzon.

3. Subjek anti PKS
Ucapan subjeknya: "tuh kan, semua partai sama saja! Munafik".
Tindakan subjeknya: Mencari pembenaran.

Entah Anda menjadi subjek yang mana.

--
Berpikir holistik atau sistemik bukan hanya penting, tetapi bahkan menjadi cara pikir agar tidak "menjudge buku hanya dari cover-nya".

Proporsional-lah. Jika Anda menjadi bagian dari sistem tersebut, Anda punya kesempatan besar memelihara dan memperbaiki sistem agar menjadi lebih baik.

Jika Anda menjadi bagian dari luar sistem dan mempunyai tujuan yang sama dengan sistem, mari berlomba dalam kebaikan bukan malah tertawa bahkan menghina.

Namun jika Anda menjadi bagian dari luar sistem serta tujuannya berbeda dengan sistem, mari bekerjasama dengan hal yang disepakati dan bertoleransi dengan hal yang berbeda.

Mari bekerja untuk Indonesia!

Salam

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates