Kita Lahir dengan Kehormatan dan Kemuliaan
Kita lahir dengan kehormatan dan kemuliaan, oleh karena itu setelah kita diberi kehormatan dan kemuliaan oleh Allah, tidak boleh kita menempatkan diri kita dalam posisi yang lemah dan hina, karena kita telah lahir dengan kehormatan dan kemuliaan setelah sebelumnya kita lahir dengan kecintaan dan kasih sayang.
Kita Lahir Karena Cinta dan Kasih Sayang
Kita lahir karena adanya cinta dan kasih sayang dari ibu dan bapak kita. Kita lahir melalui kasih sayang kedua orang tua kita dan kelahiran kita disambut oleh kasih sayang kerabat, saudara dan handai taulan kita. Oleh karena itu kita lahir untuk membawa misi rahmatan lilalamin. Kita lahir untuk menyebar kasih sayang kepada seluruh lapisan ummat, seluruh lapisan bangsa, bahkan seluruh lapisan kemanusiaan. Kita lahir dengan membawa mahabbah warahmah.
Kita Lahir dengan Misi Amanah dan Mas'uliyah
kita lahir untuk terus menerus memikul tanggungjawab, mengemban amanah yang insya Allah kita bersama-sama akan menghadap Allah untuk dimintai pertanggungjawabannya sejauh mana amanah dan mausliyah itu kita laksanakan.
Makna Kelahiran Partai Keadilan Sejahtera
Wulidna bilmahabbati warahmah...kita lahir karena cinta dan kasih sayang... Wulidna bil izzati walkaramah...Kita lahir dengan kehormatan dan kemuliaan dan Wulidna bilamanati bil masuliyah...Kita lahir untuk misi amanah dan kepemimpinan
InsyaAllah Kemenangan Besar...
insya Allah kita akan mendapatkan kemenangan-kemenangan besar pula sesuai dengan janji Allah bahwa orang yang bersyukur akan mendapatkan tambahan nikmat. Sehingga umat, bangsa, negara dan umat manusia pun akan berada dalam kehormatan dan kemuliaan karena itu adalah pangkal kejayaan di dunia dan akhirat. Allahu Akbar, Allahu Akbar .
Kamis, 20 Oktober 2011
Senin, 25 April 2011
Tipikal Fitnah Dari Masa Ke Masa
mencoba menganalisa, maka hipotesa tentang "tipikal fitnah dalam perjuangan
menegakkan dakwah" semakin mendekati kebenaran. Hipotesa ini berangkat dari
metode perjalanan dakwah ala Rasul dan Nabi dari kapanpun periode kenabian.
Sebuah sunnatullah bahwa perjalanan menegakkan kebenaran dan keadilan,
meninggikan nilai-nilai Islam, mewujudkan hukum-hukum Allah di muka bumi
selalu mendapatkan tantangan, ujian dan cobaan. Sunnatullah ini berlaku dari
mulai manusia pertama: Adam AS yang mendapatkan ujian langsung dari Iblis
yang baru saja dipecat dari surga. Tak sanggup menggoda Adam, Iblis menggoda
istrinya. Hawa pun tergoda dan keduanya akhirnya turun ke bumi. Iblis dan
anak-anaknya pasti akan terus menyesatkan manusia, hingga sangkakala kiamat
dibunyikan. Karena Iblis telah bersumpah:
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat)
di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (Al-Hijr: 39)
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
(Shod: 82)
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
(Al-A'raaf: 16)
Iblis dan anak cucunya benar-benar menjalankan sumpahnya. Fitnah demi fitnah
tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Namun Allah SWT tidak pernah
membiarkan hambanya untuk berjalan sendiri, maka diturunkanlah para nabi dan
rasul yang selalu menunjukkan mereka kepada fitrahnya: Jalan Yang Lurus.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui, (Ar-Ruum: 30)
Tapi, perjalanan pari nabi dan rasul itu tidak mudah, tidak mulus seperti
jalan tol, tidak cepat seperti sambaran petir. Tidak serta merta terkabul
layaknya doa-doa dalam sinetron picisan. Tidak juga. Banyak fitnah yang
mendera, cercaan, hinaan, dan perlawanan dari musuh-musuhnya. Musuh-musuh
Allah. Nabi Nuh AS berdakwah 950 tahun untuk hanya 70 orang pengikut bahkan
anak dan istrinya enggan mengikutinya. Ibrahim dibakar Namrudz, Yusuf harus
merasakan dinginnya jeruji besi penjara. Zakaria bahkan harus digergaji
badannya, Ilyas dipenggal kepalanya, Isa bahkan akan disalib ummatnya jika
bukan karena pertolongan Allah yang mengangkatnya ke langit. Dan nabi kita,
teladan, junjungan, manusia yang kita cintai, Rasulullah SAW pun mengucurkan
darahnya hanya karena beliau dan pendahulunya berkata:
Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini
adalah jalan yang lurus. (Az-Zukhruf: 64)
Dari perjalanan dakwah Anbiyaa wa Rasuul yang bisa kita petik pelajaran, ada
4 tipe fitnah yang selalu berulang-ulang dari masa ke masa di tempat dan
pelaku yang berbeda.
Pertama, Fitnah Terhadap Pribadi Pembawa Risalah (Rasulullah dan para Nabi)
Fitnah ini serupa dan selalu berulang di setiap kondisi. Da'i yang menyeru
kepada Amar Ma'rufdan Nahy Munkar seringkali difitnah sebagai orang gila,
tukang sihir, ahlul bid'ah, dan cacian lain yang sifatnya personal, fitnah
langsung kepada pribadi du'at.
Nabiyullah Nuh dipanggil dengan sebutan orang gila:
Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kamu Nuh, maka mereka mendustakan
hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang gila dan dia sudah pernah
diberi ancaman). (Al-Qamar: 9)
Musa difitnah firaun dengan panggilan orang gila :
Fir'aun berkata: "Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian
benar-benar orang gila". (Ash-Shu'araa: 27)
Lain waktu, Musa dan Harun difitnah dengan sebutan tukang sihir:
Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak
mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan
kedudukan kamu yang utama, (Thohaa: 63)
Rasulullah SAW pun tak luput dari cacian ini:
Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya
kamu benar-benar orang yang gila. (Al-Hijr: 6)
dan disebut dengan sebutan tukang sihir:
Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu
mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika
orang-orang zalim itu berkata: "Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang
laki-laki yang kena sihir". (Al-Israa: 47)
Dan tidak hanya para Rasul dan Nabi yang difitnah secara pribadi dengan
sebutang orang gila, tukang sihir, pembohong dan sejenisnya, tapi juga para
mujaddiid yang selalu berupaya mengembalikan ajaran Allah ke jalan yang
benar, setelah lama bengkok akibat kebodohan para pengikutnya dan
penyimpangan yang dilakukan orang-orang yang dianggap 'Alim di kalangan
mereka, namun sesungguhnya yang mereka lakukan hanyalah "melanjutkan tradisi
dan ajaran leluhur-leluhur mereka" yang melanggarnya berarti pantangan dan
akibatnya bisa kualat. Fitnah serupa diterima oleh duat dimanapun berada, KH
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyyah sempat merasakannya kala awal-awal
perjuangan dakwahnya membersihkan masyarakat dari penyakit Tahayul, Bid'ah,
Churafat (TBC). Bahkan surau beliau pun harus dirobohkan karena kebodohan
masyarakatnya.
Kedua, Fitnah terhadap Isi Risalah
Bila fitnah pertama menyasar kepada pribadi du'at, maka yang kedua ini
justru lebih dahsyat lagi. Yang jadi sasaran adalah isi risalahnya, baik
Islam itu sendiri dan Al-quran sebagai bukti kodifikasi firman Allah kepada
hamba-Nya. Kebanyakan penolakan mereka berasal dari kebodohannya belaka
(jahiliyah), ketika terjadi dialog antara Ibrahim dengan Namruz, Namruz
menuduh Ibrahim lah yang menghancurkan patung-patung sesembahan mereka,
namun Ibrahim mengelak dan justru menantang Namruz untuk bertanya kepada
patung yang paling besar, karena dia lah yang tertangkap sedang memegang
kapak, lalu Namruz berkata: "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah
mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara". lalu Ibrahim
menjawab "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak
dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada
kamu?" (QS Al-Anbiya: 56 - 64). Jadi sebenarnya mereka tahu bahwa mereka
sedang tersesat, dan kesesatannya tidak sedikitpun bermanfaat buatnya, tapi
karena kesesatan tersebut sudah mengurat akar dan ada sebagian golongan yang
diuntungkan dengan praktik kesesatan tersebut, yang bila kebenaran datang
dan kesesatan hilang maka mereka akan merugi secara ekonomis, maka akhirnya
mereka memilih untuk menolak kebenaran tersebut. Apalagi kebenaran tersebut
tidak didukung oleh mayoritas hanya segelintir orang. Mirip-mirip bukan
dengan cerita praktik korupsi di negara kita yang mengurat akar dan
menguntungkan pihak-pihak tertentu? Mereka sadar bahwa korupsi adalah salah,
tapi mereka belum siap untuk meninggalkannya karena ada potential loss yang
akan diderita. Karena itu sekalipun reformasi sudah berjalan, tapi pelakunya
relatif belum siap untuk berubah, dan karenanya dalam poin pemberantasan
korupsi, reformasi belum bisa dikatakan berhasil.
Kebanyakan, para pelaku jahiliyah tidak pernah mampu mempertahankan
argumentasi kejahiliahannya. Sebab mereka berdiri di atas akar yang rapuh.
Sebagaimana kegelapan yang langsung sirna bila ada secercah sumber cahaya.
Begitulah kejahiliahan para pembuat fitnah, dia ada hanya karena sumber
cahaya tidak ada. Tapi sebagaimana fitrah kejahatan, mereka akan saling
melindungi satu dengan lainnya. Ta'awanu 'alal itsmi wal udwan. Bahkan Allah
sudah memberitakan jauh hari bahwa mereka saling melindungi dalam kezaliman,
koalisi kejahatan yang dengannya justru timbul kemudharatan dan kerusakan
yang sangat besar.
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka
bumi dan kerusakan yang besar. (Al-Anfaal: 73)
Kedua tipe fitnah diatas relatif damai, belum ada intimidasi fisik disana.
Hanya sekedar teror verbal. Bila kedua tipe teror diatas belum cukup
menghabisi langkah duat dalam perjalanan dakwahnya, maka fitnah selanjutnya
terus berlanjut.
Fitnah Ketiga: Embargo ekonomi
Embargo ekonomi paling nyata dirasakan oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib di
tahun ke-7 kenabian. Masyarakat Quraisy menyatakan pemutusan hubungan
ekonomi, pelarangan pernikahan dengan kedua suku tersebut dan berdamai
dengan mereka. Setiap ada kafilah dagang masuk ke mekkah, serta merta
pembesar Quraisy memborong seluruh bahan pangan dan memaksa pedagang agar
menjual barang dagangannya ke Bani Hasyim dan Muthallib dengan harga yang
tinggi.
Pada era modern, senjata embargo sering dipakai oleh barat (baca: Amerika
dan Sekutunya) untuk menghajar siapapun yang tidak sepaham dengannya. Irak,
Iran, Sudan, hingga Indonesia pernah merasakan embargo darinya. Dari awal
2000-an Indonesia sudah mengalami embargo suku cadang militer dari Amerika
hingga memaksa pemerintah mengandangkan 3 pesawat F-16 nya. Di kemudian hari
pemerintah lebih memilih untuk membeli Sukhoi Rusia demi mengatasi embargo
militer AS ini. Embargo dijatuhkan karena AS merasa militer Indonesia
melanggar HAM dalam kasus Timor-Timor lalu.
Tujuan fitnah ini adalah untuk menggoyahkan pendirian, keyakinan dan
semangat orang-orang beriman untuk kemudian meninggalkan Rasulullah atau
menyerahkannya ke Quraisy untuk dibunuh. Tapi menurut Profesor Muhammad
Rawwas Qal'ah dalam kitab Qiraatus Siyasyah Li Sirah An Nabawiyah, peristiwa
pemboikotan terhadap Rasulullah SAW dan para pengikutnyajustru mendatangkan
kebaikan yang sangat besar. "Sungguh Allah telah memperkuat posisi agama
Islam ini melalui orang kafir tanpa disadarinya", ungkapnya.
Embargo terhadap Rasulullah dan para pengikutnya selama tiga tahun telah
menjadi pencegah bagi masuknya orang-orang yang memiliki tujuan kotor ke
dalam Islam. Tidak mungkin orang-orang yang sangat rakus dengan gemerlapnya
dunia akan masuk ke dalam Islam. Sehingga tidak akan masuk Islam, kecuali
orang-orang yang hatinya telah terbakar oleh panasnya iman. Dibutuhkan
keikhlasan dan kesabaran yang tinggi untuk bisa menjadi pengikut Rasulullah
SAW
Bila Fitnah Ekonomi tidak juga mampu untuk membungkam du'at, maka jurus
terakhir dilancarkan.
Fitnah Keempat: Perang Fisik
Bila ketiga jenis fitnah diatas tidak mampu untuk menghentikan laju du'at,
maka peperangan fisik adalah jurus terakhir yang akan dilancarkan
musuh-musuhnya. Perang Badr Kubra adalah perang besar pertama yang
dilancarkan Musyrikin Mekkah terhadap Negara Islam Madinah. Al-quran
mencatat, tidak seluruh kaum muslimin Madinah saat itu siap untuk berperang.
Sebagian mereka dihinggapi rasa takut bahkan enggan berperang:
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya,
(QS Al-Anfaal: 5)
Tapi mereka yang kuat imannya tetap berangkat bersama Rasulullah. Mereka
setia dengan pimpinan mereka. Di kala senang dan susah. Bahkan secara
khusus, Rasulullah seakan meminta jaminan kesetiaan dari sahabat Anshor,
Sejarah mencatat ucapan Sa'ad Bin Muadz yang mewakili seluruh sahabat
anshor:
Sepertinya, engkau ragu kepada kami, wahai Rasulullah
Dan sepertinya, engkau khawatir bahwa orang-orang Anshar,
sebagaimana yang tampak pada pandanganmu, tidak akan menolongmu, kecuali di
ngerinya.
Saya bicara atas nama orang Anshar dan memberi jawaban berdasarkan sikap
mereka.
Berangkatlah bersama kami, sesuai dengan yang apa engkau kehendaki.
Ikatlah tali siapapun yang engkau kehendaki dan putuskanlah ikatan siapa
saja yang engkau kehendaki.
Dan ambilah dari harta kekayaan kami yang engkau kehendaki. Dan berikanlah
yang mana saja yang engkau kehendaki.
Apa saja yang engkau ambil, niscaya lebih kami sukai daripada yang engkau
tinggalkan.
Demi Allah, kalau seandainya engkau menempuh perjalanan bersama kami hingga
ke barak Al Ghamad (Kota Habasyah), kami semuanya akan tetap bersamamu.
Demi Allah, kalau seandainya engkau mengajak kami untuk menyebrangi lautan
sekalipun, pasti kami akan lalui bersamamu.
Atas ijin Allah, pasukan muslimin meraih kemenangan gemilang di medan Badr.
Jumat, 22 April 2011
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah Atas Peran Islam
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009
lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama
tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar
tentang Kartini. Judulnya: “*Mengapa Harus Kartini?*”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia
ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap *21 April* bangsa
Indonesia memperingati *Hari Kartini*? Apakah tidak ada wanita Indonesia
lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca
dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu
saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan
sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru,
guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. *Harsja W. Bachtiar* pernah
menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘*pengkultusan*‘ R.A. Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku *Satu Abad Kartini* (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul
“*Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita*“. Tulisan ini bernada gugatan
terhadap penokohan Kartini. “*Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta
sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya
lebih lanjut,*” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor
sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang
hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam
*Safiatuddin
Johan* Berdaulat dari Aceh dan kedua, *Siti Aisyah We Tenriolle* dari
Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam
buku *Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia* (Jakarta: Balai
Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja
Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. *Sultanah
Safiatudin *dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan
ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa
Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan
kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari
Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil
menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun
tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi
lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal
sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah *Siti Aisyah We
Tenriolle*. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi
juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah
Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat
sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah
pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk
anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang *dipilih *oleh orang Belanda untuk
*ditampilkan *ke depan sebagai *pendekar kemajuan wanita pribumi* di
Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami
istri. Adalah *Cristiaan Snouck Hurgronje*, penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan,
Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “*Abendanon mengunjungi mereka dan
kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan
Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi
di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.*
”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan *Estella Zeehandelaar*,
seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).
Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai *perjuangan wanita *dan *sosialisme*. Tokoh sosialisme
H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” *C.Th. van Deventer* adalah
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun
1911, Abendanon *menerbitkan *kumpulan surat-surat Kartini dengan judul *Door
Duisternis tot Lich*. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan
judul *Letters of a Javaness Princess*. Beberapa tahun kemudian, terbit
terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul *Habis Gelap Terbitlah Terang
*: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa *pengumpulan dana *yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan *Komite Kartini
Fonds*, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih *
memperkenalkan* nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.
Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “*Orang-orang Indonesia di luar
lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak
mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana
orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam
tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.*”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut, “*Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah
yang mengembangkannya lebih lanjut.*”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri
tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “
*Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih
mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa
wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa
memperkecilpenghargaan kita pada RA Kartini.
*”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar
Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan,
seperti *Dewi Sartika *di Bandung dan *Rohana Kudus *di Padang (kemudian
pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja
dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan *lebih* dari yang dilakukan
Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana
dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
*Dewi Sartika* (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan *Sakola
Kautamaan Istri *(1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar
Bandung. *Rohana Kudus* (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung
halamannya. Selain mendirikan *Sekolah Kerajinan Amal Setia *(1911) dan *Rohana
School *(1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai *jurnalis wanita
pertama *di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
jauh melangkah: *mewujudkan ide-ide* dalam *tindakan nyata*. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
klaim-klaim *keterbelakangan
*kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini *harus *segera *
digugurkan*. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang
mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah,
selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah
wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu
yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum
Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki *Panglima Angkatan
Laut wanita *pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon *memilih *Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga
mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada
Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda
atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki *visi
keislaman *yang tegas. “*Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,*” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini *tidak terlepas *dari *peran *Belanda. Harsja W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama *Snouck Hurgronje *dalam rangkaian penokohan Kartini
oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang *orientalis *Belanda yang
memiliki kebijakan sistematis untuk *meminggirkan Islam *dari bumi
Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama
mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda
untuk *memperkecil
*peran *Islam *dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, *Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu *((Bandung: Mizan,
1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
*“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan
ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada
akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan
mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh
itu masih berlaku sampai dewasa ini.”*
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada
Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali *menyebut *nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai *orang
hebat *yang sangat *pakar *dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny.
Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
“*Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan
teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau
tentang hal berikut: ‘Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig
seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?‘ Ataukah sebaiknya
saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali
mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak
perempuannya.*” (Lihat, buku Kartini: *Surat-surat kepada Ny. R.M.
Abendanon-Mandri dan Suaminya*, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, *Snouck Hurgronje en Islam *(Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul *Snouck Hurgronje dan Islam*, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ‘*menaklukkan Islam*‘. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar
Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk *menyatakan diri* sebagai
seorang *muslim
*(1885) dan *mengganti nama *menjadi *Abdul Ghaffar*. Dengan itu dia bisa
diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya
memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai
wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck *dianggap* oleh banyak
kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘*ulama*‘. Bahkan ada yang menyebutnya
sebagai “*Mufti Hindia Belanda*“. Juga ada yang memanggilnya “Syaikhul Islam
Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: “*Sesungguhnya agama
ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab,
tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu
perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk
mengharapkannya.*” (hal. 116).
*Snouck Hurgronje* (lahir: 1857) adalah *adviseur *pada Kantoor voor
Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas
memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam
bukunya, *Politik Islam Hindia Belanda*, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib
Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck
Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah
melakukan *pembaratan *kaum elite pribumi melalui *dunia pendidikan*,
sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang
berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan
pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak
pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, *Islam Indonesia *akan
mengalami *kekalahan
akhir *melalui *asosiasi *pemeluk agama ini ke dalam *kebudayaan *Belanda.
Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa *asosiasi
kebudayaan *yang ditopang oleh *pendidikan Barat *akan keluar sebagai *
pemenangnya*. Apalagi, jika didukung oleh *kristenisasi *dan *pemanfaatan
adat*. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan
Islam di Indonesia: “*Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh
misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk
menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat
mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.*”
(hal. 24).
Itulah *strategi *dan *taktik *penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita
melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan
untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini
semakin canggih dilakukan. *Kader-kader *Snouck dari kalangan ‘pribumi
Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai
Muslim dan *silau *dengan *peradaban Barat*, banyak ‘anak didik Snouck’ –
langsung atau pun tidak – yang sibuk *menyeret Islam *ke bawah *orbit
*peradaban
Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka
lakukan adalah *merusak *Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah
berbuat kebaikan.